13 Oktober 2009

MENOPANG REFORMASI TNI

Surya, 13 Oktober 2009 

MENOPANG REFORMASI TNI





Dr Soetanto Soepiadhy SH MH
Ketua Pusat Kajian Konstitusi Untag Surabaya

Bila masalah umum seperti korupsi, penegakan hukum, dan lain-lain sudah ditangani dengan serius; prajurit dipersenjatai dengan peralatan yang memadai dan terjamin kesejahteraannya, maka hanya masalah waktu sajalah reformasi TNI itu bisa dinilai berhasil dan menjadi TNI yang profesional.

INDONESIA saat ini adalah Indonesia di abad ke-21. Ujud ke depannya, adalah Indonesia yang modern dan demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum, menghormati HAM dan perbedaan pendapat. Kesadaran untuk bersama mendukung wujud Indonesia ke depan yang seperti itu telah mendorong TNI untuk segera keluar dari bayang-bayang masa lalunya yang menyulitkan, di samping memang sudah tidak aktual lagi.

14 September 2009

Yoga Bahasa Jadi Ruang Ibadah

Jawa Pos, 14 September 2009

Memperingati 40 Hari W.S. Rendra Berpulang
Yoga Bahasa Jadi Ruang Ibadah

Oleh : Soetanto Soepiadhy
MEMPERINGATI 40 hari W.S. Rendra berpulang, akan diadakan doa bersama di Kampus Bengkel Teater Rendra sore nanti, tepatnya menjelang magrib hingga tengah malam. Tuhan, Aku Cinta Padamu adalah tema yang disuguhkan dalam acara tersebut. Tema itu menjadi satu-satunya puisi yang ditulis Rendra saat berbaring di rumah sakit sebelum meninggalkan dunia ini. Itulah puisi terakhirnya.

Betapa terharu hati ini, kepada penulis -sebagai salah seorang sahabat- pada suatu malam berdua di rumahnya, secara jujur Rendra mengakui menjadi seniman dan memilih kesenimanan sebagai jalur hidup karena pertemuan dengan seorang penjual arang di sebuah pedesaan di daerah Jogjakarta. Penjual arang itulah yang memberikan kekuatan dan daya hidup kepada dia untuk menjadi seniman. Bisa dipastikan, itulah "guru besar" Rendra, orang tua penjual arang. Meski, pilihan sebagai seniman tersebut sangat ditentang keras oleh bapak dan ibunya yang ingin Rendra menjadi "orang".

01 September 2009

Menunggu Opsi Kabinet SBY

Jawa Pos, 01 September 2009

Menunggu Opsi Kabinet SBY
Oleh: Soetanto Soepiadhy


KEMENANGAN di atas 60 persen dalam pilpres memperlihatkan betapa SBY terlalu mudah mengalahkan para pesaingnya. Kini tugas SBY adalah membentuk kabinet. Pertanyaannya, mudahkah itu dilakukan SBY?

Tampaknya tidak. SBY harus memilih opsi kabinet yang berisi orang-orang profesional atau opsi kabinet akomodatif yang mewakili kepentingan koalisi partai politik.

Dari aspirasi yang kita dengar, rakyat menghendaki SBY bersama Boediono membentuk kabinet yang diisi para profesional dan mereka yang tidak pernah terlibat dalam kasus hukum. Mereka yang berasal dari partai politik dinilai tidak tepat karena mereka bukan orang profesional.

Sementara kalangan partai pendukung menghendaki SBY mau akomodatif terhadap mereka. Toh mereka sudah berkeringat untuk kemenangan SBY. Pertanyaan selanjutnya, sebagai presiden terpilih yang memiliki legitimasi penuh dari rakyat, beranikah SBY menentukan orang-orang yang akan duduk di kabinet dengan mengacu pada profesionalitas dan bukan sekadar politik dagang sapi?

09 Juli 2009

Meredesain Konstitusi : Foto-foto Peluncuran Buku di Banyuwangi

Peluncuran Buku Ke 18

DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.
MEREDESAIN KONSTITUSI
Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi

Banyuwangi, Mei 2008


















Pemkot Surabaya Menelan Jalan Kenari

KOMPAS, SELASA, 22 APRIL 2008

Pemkot Surabaya
Menelan Jalan Kenari



SAYA membaca buku DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. yang berjudul Meredesain Konstitusi. Esensi buku ini menghendaki agar produk-produk hukum yang diundangkan bagi kepentingan bangsa bisa “adil” kesetaraan bagi hak-hak rakyat.

Bagi rakyat, kedaulatan hukum yang “adil” semestinya memiliki kekuatan yang timbal-balik, yaitu kekuatan hukum bagi “penguasa”, sebaliknya juga kekuatan hukum bagi “daulat rakyat”. Sebagai misal, kalau pelanggaran bagi Pemkot Surabaya, bisa ditoleransi atau bisa direkomendasi, sementara bagi rakyat yang melanggar sepertinyya tanpa ampun sama sekali.
Contoh soal, kasus hilangnya Jalan Kenari, Surabaya, di mata rakyat selama ini jadi bingung karena ulah Pemkot Surabaya. Karena apa? Jalan Kenari Surabaya, apa pun alasannya ini adalah akses jalan “milik rakyat” Surabaya. Di mana di lembaran “peta” Surabaya yang namanya Jalan Kenari itu secara hukum “telah sah ada”, tetapi oleh Pemkot Surabaya dihilangkan begitu saja secara fisik. Dalam hal ini, hak-hak rakyat telah dilanggar atau dihilangkan begitu saja.
Rakyat sepertinya tak berdaya bila ingin protes ke Pemkot Surabaya dan tak ingin bersibuk-sibuk untuk protes masalah demikian. Sementara DPRD yang katanya sebagai wakil rakyat seakan tak pernah menanyakan hal-ihwal Jalan Kenari. Mungkin juga “pernah ada”, tetapi suaranya telah ditelan angin, sehingga terkesan tak kedengaran sama sekali.
Di lain pihak, bila Pemkot Surabaya juga ingin menggusur pedagang kali lima (PKL) selalu atas nama ketertiban masyarakat, di mana PKL dianggap suka makan badan jalan. Lalu, dalam kasus hilangnya Jalan Kenari, bukan sekadar “makan jalan”, tetapi sudah “menelan jalan”.
Maka di sini, siapa yang memakan dan siapa yang dimakan? Oleh sebab itu, mari kita renungkan, bukan salah-salahan.

YOESMADI
Kedung Pengkol

Pembangkang Ngalap Berkah

SURYA, RABU, 9 APRIL 2008

Soetanto Soepiadhy Luncurkan Buku Ke-18
Pembangkang Ngalap Berkah


“Selama saya hidup, saya akan terus memilih demokrasi,” itulah kalimat tegas dari Dr. Soetanto Soepiadhy, saat meluncurkan bukunya ke-18, berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi, di Warung Legen, Jalan Veteran Gresik, Senin (7/4) malam.

MUSTAIN, GRESIK

DI depan puluhan undangan, di antaranya teman-teman semasa SMA, lelaki kelahiran Desa Gapuro Sukolilo, Kecamatan Gresik ini tampak berapi-api saat menyampaikan obsesinya. Ia ingin, agar Indonesia bisa menerapkan demokrasi yang partisipatif, tidak demokrasi yang sekedar representatif. “Sehingga akan melahirkan kebijakan yang populis, yang memihak rakyat,” kata Bung Tanto, panggilan akrabnya.
Selama memaparkan sekilas buku biografinya, yang disusun Fananie Anwar, seorang wartawan senior Surabaya, beberapa kali Doktor Hukum Tata Negara ini menyentil keadaan demokrasi Indonesia saat ini.
Ia juga beralasan, kenapa sampai sekarang enggan bergabung dengan partai politik. “Sebab, saya melihat belum ada partai yang benar-benar membela kepentingan rakyat,” kata Bung Tanto.
Buku itu seakan menasbihkan sosok Soetanto Soepiadhy yang menggandrungi demokrasi. Jika diminta memilih, misalnya, gaya pemerintahan otoriter Tiongkok yang berhasil mensejahterakan rakyatnya, Soetanto tetap memilih gaya demokrasi. “Selama saya hidup, saya akan terus memilih demokrasi.” Tegas Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib).
Soetanto bahkan bertekad, akan menjadi bagian dari masyarakat yang akan terus mengkritisi kebijakan pemerintah. Ia sudah membuktikan, dengan menolak jabatan di Kopertis, lembaga yang menaungi perguruan tinggi swasta. “Saya ingin tetap berdiri di luar, namun tetap kritis,” tekad Bung Tanto.


Dalam buku setebal 320 halaman itu, Soetanto Soepiadhy menyatakan, perubahan konstitusi mestinya dilakukan secara menyeluruh/komprehensif (renewal), bukan perubahan parsial (amandment), sehingga perubahan konstitusi secara komprehensif, butuh Komisi Konstitusi yang bekerja secara independen, dan anggotanya ditetapkan melalui ketetapan MPR. ”Jadi perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR,” tegasnya.
Komisi Konstitusi itu, nantinya beranggotakan pakar dari beragam ilmu, dan dalam prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat, yang diwakili oleh unsur perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), civil society, dan organisasi profesi. “Merekalah yang akan merancang draf akademik konstitusi baru,” papar Soetanto Soepiadhy.
Keturunan Kyai Tumenggung Poesponegoro, Bupati Gresik Pertama ini mengaku, senagaja meluncurkan bukunya ke 18 ini di kota kelahirannya. Sebab di Gresik juga telah dilahirkan sejumlah ulama kondang, yaitu Kanjeng Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. “Saya ingin mendapat berkah,” tegasnya.
Selain ingin ngalap berkah dari para wali, Bung Tanto juga ingin mendapat rrestu dari para gurunya di SMAN I Gresik. Salah satu guru yang paling dihormati, KH. Mochtar Jamil.
Saking hormatnyya kepada sang ulama kondang ini, Bung Tanto sampai secara khusus memberikan bukunya tersebut.
Di mata Fananie Anwar, sang menyusun buku, sosok Soetanto Soepiadhy dikenal sebagai sosok pembangkang. Tak heran, kata-kata pembangkang juga menghiasi sub judul bukunya tersebut. “Bung Tanto tidak akan tinggal diam jika melihat ketidakadilan di sekitarnya, misalnya, upaya penggusuran para PKL,” kata Fananie Anawar. (*)

07 Juli 2009

Peluncuran Buku di Warung Legen

SURYA, SABTU, 19 APRIL 2008


Peluncuran Buku di Warung Legen



HARIAN Surya 9 April 2008 memberitakan tentang Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. meluncurkan buku barunya yang ke-18 di sebuah warung legen di Kota Gresik.
Yang menarik, di saat-saat warung telah digusur pemerintah daerah dan pemerintah kota di mana-mana, justru Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. dosen Pascasarjana Untag Surabaya, malah memilih warung legen di Jalan Veteran, Gresik, sebagai tempat peluncuran bukunya yang berjudul Meredesain Konstitusi.
Entah, apa yang melatarbelakangi hingga doktor yang budayawan ini sengaja memilih warung legen sebagai ajang peluncuran bukunya. Mungkin, pertanda sebagai protes sosial terhadap fenomena penggusuran warung-warung yang ada di mana-mana.
Yang jelas Soetanto Soepiadhy dalam perjalanan hidupnya tak bisa melepaskan diri dari makan dan minum di warung kaki lima bersama sahabatnya.
Selepas peluncuran, ketika ngobrol, ia bisa membayangkan, apakah benar rakyat Indonesia telah siap ditinggalkan warung-warung PKL, yang notabene rakyat kita masih miskin ini? Tanyanya.

Ia berpendapat, pejabat yang suka nggusar-nggusur itu dulunya juga biasa makan di warung-warung. Hanya, sekarang saja sudah jadi penggede lalu lupa pada kaki lima, katanya sambil ketawa.
Tidak lain, Soetanto Soepiadhy yang bergelar doktor hukum ketatanegaraan, melihat ada ketimpangan hukum yang kurang berimbang terhadap rakyat kita.
Untuk inilah, ia begitu serius berjuang agar hukum di Indonesia harus didesain kembali atau ditata ulang secara menyeluruh/komprehensif.
Lalu mengapa memilih warung yang jauh di Gresik? Di samping Kota Gresik adalah kota kelahirannya. “Kan di Gresik masih aman dari penggusuran warung-warung,” kata Dr. Soetanto Soepiadhy yang membanggakan kotanya.

Duari Joesoef
Kawatan X-14
Surabaya

Soetanto Soepiadhy, Doktor Hukum Tata Negara Asli Gresik

RADAR SURABAYA, KAMIS, 10 APRIL 2008

Soetanto Soepiadhy,
Doktor Hukum Tata Negara Asli Gresik
Diundang Presiden untuk Menyampaikan Gagasan
Perubahan Konstitusi


ARIES WAHYUDIANTO, Gresik

DI era Presiden Soeharto, dia pernah ditawari menjadi dosen Kopertis dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun ditolak. Kini, meski memiliki hubungan dengan Mendagri, lagi-lagi dia secara tegas menolak memanfaatkan untuk mencari keuntungan. Baginya, terlahir sebagai seorang dosen atau pengajar swasta adalah jalan hidupnya. Lalu siapakah Soetanto Soepiadhy ini?
SEDERHANA, tapi penampilannya selalu necis dan perlente serta gayanya yang blak-blakan, menjadi ciri khas, pria kelahiran kampung Gapuro Sukolilo, Kecamatan Gresik, 55 tahun silam ini. Selepas menamatkan sekolah di SMA 1 Gresik, Soetanto kemudian berkelana dan berguru.
Hingga akhirnya pada 2006 lalu, dia mendapat gelar doktor hukum tata negara dari kampus almamaternya, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Bahkan, sebutan profesor tinggal menunggu hitungan hari untuk melengkapi gelar penerima Presidential Award for Recruitment JCI, Amerika Serikat.
Dosen tetap Untag Surabaya ini, tidak hanya piawai dalam mengajar. Dalam urusan penulisan buku, Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib) ini, termasuk ilmuwan yang rajin menelurkan karya-karya ilmiahnya. Hingga akhir 2007 lalu, sudah 19 buku ilmiah maupun budaya yang dihasilkan dari pemikiran Direktur “Soetanto Soepiadhy Private Library”.



Yang mengesankan, karyanya berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi, kini menjadi kajian anggota MPR di Jakarta. Beberapa kali, pria yang juga seorang budayawan ini diundang badan pekerja MPR dan DPD hingga presiden untuk menyampaikan gagasan terhadap perubahan konstitusi.
Dalam buku setebal 320 halaman ini membahas kajian perubahan konstitusi, UUD 1945, seperti yang diamanatkan dalam tuntutan reformasi. Ada satu poin mendasar dalam pemikiran Soetanto Soepiadhy terkait perubahan konstitusi, supremasi hukum negeri ini, yakni melakukan renewal atau perubahan secara komprehensif/menyeluruh. Dia menilai, konsep ini harus dijalankan, karena perubahan melalui amandemen yang dilakukan MPR, dianggap tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Dalam gagasannya, Soetanto Soepiadhy menawarkan perubahan konsep konstitusi dengan sistem renewal. Konsep ini tidak serta merta muncul. Sebab, gagasan ini justru pernah mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan jawaban dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Agustus 2007 lalu.
“Untuk melaksanakan sistem renewal perlu dibentuk Komisi Konstitusi, sebab perubahan UUD 1945 perlu orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi. Orang-orang ini bisa diambil dari pakar perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, dan civil society,” saran dia.
Dia membandingkan perubahan konstitusi yang sudah dilaksanakan oleh Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan. Perlu ada 30 hingga 100 orang pakar untuk membahas perubahan melalui Komisi Konstitusi.





Untuk membahasnya, hanya butuh waktu antara 3 bulan hingga 2 tahun. “Kalau kita bisa ambil tengah-tengahnya. Saya yakin, kalau perubahan konstitusi ditangani komisi khusus, maka output yang dihasilkan akan mewakili seluruh kepentingan masyarakat. Dan bukan MPR yang menghasilkan, karena MPR banyak dihuni oleh unsur partisan yang memiliki politik kepentingan,” kata Soetanto Soepiadhy. (*)

03 Juli 2009

Kupas Tuntas Persoalan Konstitusi Indonesia

BALIKPAPAN KOTA, SELASA, 1 APRIL 2008

Kupas Tuntas Persoalan Konstitusi Indonesia
Dari Peluncuran Buku Dr. Soetanto Soepiadhy
di Kampus Untri

BALIKPAPAN – Perubahan konstitusi secara menyeluruh/komprehensif menyangkut sektor hukum, menjadi tujuan dalam peluncuran buku karya Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. berjudul “Meredesain Konstitusi: Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” di Universitas Tri Dharma (Untri), di kawasan Jalan Somber Balikpapan, Senin (31/3) kemarin.
“Buku ini merupakan perubahan konstitusi dengan sistem renewal (menyeluruh/komprehensif). Dengan sistem renewal, perlu dibentuk Komisi Konstitusi yang independen. Para pakar yang masuk dalam komisi tersebut harus dilakukan seleksi secara ketat oleh MPR,” kata Soetanto Soepiadhy yang semangat membicarakan perubahan UUD 1945 bersama tokoh-tokoh reformasi lainnya ini.

Para pakar harus berasal dari berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi kewenangan khusus oleh MPR, melakukan penyusunan naskah rancangan Konstitusi Baru menggantikan UUD 1945. Bisa saja nama Konstitusi Baru masih tetap menggunakan UUD 1945.
Perubahan konstitusi dalam proses demokrasinya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau publik yang akan merancang constitutional draft atau academic draft konstitusi baru. Dengan demikian, tak ada monopoli hak kewenangan konstituante formalnya di atas segalanya. “Dalam hal ini, saya tidak memakai demokrasi representatifnya MPR, tapi memakai demokrasi partisipatoris, karena melibatkan rakyat,” ujarnya.
Buku setebal 320 halaman, yang ke 18 ini, membahas tuntas mengenai konstitusi di Indonesia saat ini. Melalui pemikiran-pemikiran cemerlang Soetanto Soepiadhy yang pernah menerima penghargaan Presidential Award for Recruitment JCI, dari Amerika itu, dipaparkan dengan lugas dan mudah dipahami.
Bahkan, Ketua Komisi Konstitusi, Prof. Dr. H.R.T. Sri Soemantri memuji langkah Soetanto Soepiadhy dalam pemikiran merubah konstitusi, karena hal itu dianggap sebagai upaya mendasar untuk mengkaji konstitusi yang ada.
Sebagai alternatifnya mengajukan sebuah konstitusi yang baru, WS. Rendra mengungkapkan hal yang sama terkait pemikiran Soetanto Soepiadhy, karena dinilai menaruh perhatian besar terhadap cacat-cacat di dalam hukum ketatanegaraan Indonesia.
Buku Soetanto Soepiadhy tersebut bisa didapatkan di seluruh toko buku di Balikpapan maupun kota-kota besar lainnya. Bagi praktisi hukum, mahasiswa dan masyarakat umum sangat perlu membuka wawasan tentang hukum ketatanegaraan melalui buku yang disajikan guru besar hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini. (bai)

Soetanto : Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

KALTIM POST, SELASA, 1 APRIL 2008



Luncurkan Buku Meredesain Konstitusi
di Universitas Tridharma
Soetanto: Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

BALIKPAPAN – Era reformasi telah kita lalui selama sepuluh tahun. “Antek-antek” Orde Baru perlahan berganti generasi. Namun, keadaan negeri ini tak jauh berubah. Ada apa sebenarnya dengan konstitusi kita selama ini? Padahal MPR telah mengamandemen UUD 1945 empat kali.
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH., guru besar Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, yang Senin (31/3) kemarin meluncurkan buku karyanya di Universitas Tridharma Balikpapan.
Buku berjudul Meredesain Konstitusi ini merupakan karya ke-18 dosen yang akrab dipanggil Daddy itu. Dosen dan mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Untag asal Balikpapan ikut menghadiri peluncuran buku tersebut. Acara ini dipandu dosen Fakultas Hukum Drs. Ec. Juhri Asri, SH., SSos.
Dalam bukunya, Daddy mengupas berbagai hal tentang konstitusi Indonesia yang carut-marut. Unsur-unsur demokrasi untuk mengubah konstitusi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi. Selain itu, jaminan hak asasi manusia, pemilihan umum, pemerintahan yang bertanggung jawab, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat, dan persamaan di hadapan hukum tidak dapat terealisasi.
Amandemen UUD 1945 pertama sampai keempat, dianggap Daddy, tidak berhasil mengembangkan demokrasi. Bahkan, menghalangi proses demokrasi. Daddy berharap buku ini bisa menjadi kontribusi nyata untuk melakukan perubahan menyeluruh/komprehensif terhadap konstitusi. “UUD 1945 bukanlah kitab suci yang datang dari Tuhan. UUD 1945 boleh diubah,” tegas Soetanto Soepiadhy. Perubahan yang dimaksud adalah kearah demokrasi yang lebih mandiri.
Menurutnya, untuk melakukan renewal (perubahan menyeluruh/ komprehensif), harus dibentuk Komisi Konstitusi, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kemampuan. Komisi Konstitusi diseleksi oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik; karena seharusnya perubahan UUD 1945 bukan ditangani oleh MPR. “Mereka terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu, perwakilan daerah, dan tokoh independen yang diberi kewenangan khusus oleh MPR,” ujarnya.
Ditegaskan, keterlibatan unsur partisan dalam MPR menjadikan setiap proses pembicaraan berubah menjadi wahana mendesakkan kepentingan berbagai pihak, sehingga merugikan kepentingan rakyat yang diusungnya. Bahkan, dapat memunculkan konflik baru dalam tatanan masyarakat. “Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya, filosofi partai politik adalah menguasai kekuasaan,” ucapnya. (*/jaz)

Tak Berhenti hingga 50 Buku

Jawa Pos – Selasa 18 Maret 2008

Tak Berhenti hingga 50 Buku

DOKTOR Soetanto Soepiadhy, SH., MH. masih juga betah menulis. Pakar hukum tata negara itu memang menganggap, bahwa menulis sudah jadi bagian hidupnya. Beberapa waktu lalu, Bung Tanto – sapaan Soetanto Soepiadhy – kembali meluncurkan buku. Itu buku ke delapan belas yang ditulis.
Buku tersebut berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi. Penerima Presidential Award for Recruitment (JCI) yang berpusat di Amerika itu pun menegaskan kembali komitmennya pada demokrasi lewat bukunya.
“Meski Tiongkok dianggap sukses membuat rakyatnya makmur dengan totalitarianism-nya, Soetanto Soepiadhy tetap memilih demokrasi,” tegas dosen Fakultas Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Universitas Narotama tersebut.

Bung Tanto sudah terbiasa menulis sejak kecil. Umumnya, puisi dan cerpen. Ketika Mingguan Mahasiswa masih jaya, Bung Tanto tak ketinggalan mengirimkan karyanya. “Saat masih kuliah, saya malah sudah menerbitkan kumpulan puisi. Semacam bunga rampai gitu lah,’ tutur karib penyair WS. Rendra tersebut.
Bunga rampai Bung Tanto kala itu berisi hingga 50 puisi. Maklum, Ketua Umum Yayasan Kebudayaan Indonesia tersebut memang sedang gandrung dengan dunia sastra. Jurusannya saja Sastra Inggris.
Sampai kapan menulis buku? Bung Tanto berjanji takkan berhenti menulis buku. Terutama, menyuarakan perbaikan hukum dan demokrasi di Indonesia.
“Paling tidak, sebelum mati, saya harus sudah menyelesaikan 50 buku,” kata Direktur “Soetanto Soepiadhy Private Library” tersebut berharap. (aga/dos)

01 Juli 2009

Perubahan Konstitusi Mengarah Partisan

DUTA MASYARAKAT, Jumat, 14 Maret 2008

Perubahan Konstitusi Mengarah Partisan


SURABAYA – Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi prosedur dan proses tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Begitu pula unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan materi mmuatan atau substansi konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (pemilu); pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
“Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu kerja yang bersifat spesifik,” kata Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. dalam launching bukunya berjudul “Meredesain Konstitusi: Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Kamis (13/3).
Kata Doktor Hukum Tata Negara ini, perubahan tersebut harus ditangani orang-orang yang berkemampuan dan mempunyai kompetensi untuk itu. Mereka diseleksi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara terbuka, transparan, dan dipantau publik. Jadi, perubahan UUD 1945 tidak ditangani MPR, karena keterlibatan unsur partisan di tubuh MPR menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka melupakan kepentingan rakyat dan bahkan kerap menimbulkan konflik.
“Sesuai adagium, filosofi konstitusi adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya filosofi partai atau partisan adalah menguasai kekuasaan,” paparnya.
Soetanto Soepiadhy menjelaskan, solusi perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi dengan cara pembaruan naskah secara komprehensif (renewal), yaitu tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dasar pemikiran pembaruan naskah konstitusi ini, bukan hanya pembaruan tekstual pasal-pasal, tapi dimaksudkan untuk perubahan format politik kekuasaan suatu masyarakat ke arah lebih baik. Perubahan konstitusi dalam prospek perkembangan demokrasi melibatkan partisipasi masyarakat, civil society, dilakukan oleh Komisi Konstitusi yang legalitasnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga, yakni merancang constitution draft atau academic draft Konstitusi Baru. (ger)

30 Juni 2009

Tak Masalah Disebut Pembangkang

RADAR SURABAYA, JUMAT, 14 MARET 2008


Tak Masalah Disebut Pembangkang

SEMOLOWARU-RADAR* Buku ke-18 Soetanto Soepiadhy berjudul “Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” diluncurkan, Kamis (13/3). Buku setebal 320 halaman yang diselesaikan penulisnya kurang dari setengah tahun, adalah hasil kompilasi tugas disertasinya, serta dua buku sebelumnya, yakni Meredesain Konstitusi, dan Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro.
Kritik tajam terhadap perjalanan demokrasi serta reformasi di Indonesia, diluapkan Soetanto Soepiadhy dalam buku terakhirnya. “Reformasi yang berlangsung selama ini belum menjangkau persoalan bangsa yang paling hakiki. Semangat dan sikap kemandirian sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat di negeri ini, masih terkungkung otoriter,” kata Bung Tanto di sela peluncuran bukunya di Fakultas Hukum (FH) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, kemarin.

Menurutnya, ada tiga unsur penting tuntutan reformasi yang bisa mengubah wajah Indonesia. Ketiganya adalah perubahan konstitusi, pembubaran dwifungsi ABRI, dan pemberantasan KKN. Sayang, ketiganya tidak berjalan selaras dan seimbang. “Pancasila tak lebih sebuah slogan. Negara ini belum mementingkan kepentingan bangsa di atas segalanya,” tukas penerima Presidential Award for Recruitment JCI dari Amerika Serikat ini.
Dalam subjudul bukunya, Soetanto tak segan menyebut dirinya sebagai seorang pembangkang demokrasi. Sebab, bagi pengagum Presiden AS, Abraham Lincoln ini, segala yang berkaitan dengan sebuah pembangkangan adalah hal yang biasa dan harus terjadi. “Jika tidak, maka yang akan terjadi hanya kemunafikan,” tegas Bung Tanto. (dya)

Amandemen Langgar Prinsip Demokrasi

Surabaya Pagi, 14 Maret 2008


Amandemen Langgar Prinsip Demokrasi





PERUBAHAN UUD 1945 oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) mulai dari perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002 lalu, tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
“Perubahan yang dilakukan MPR selama ini, tidak memenuhi nilai-nilai yang harus terkandung di dalam sebuah konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum yang jujur dan adil; pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan persamaan setiap orang di depan hukum,” tandas DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH., dalam peluncuran buku terbarunya yang berjudul “Meredesain Konstitusi (Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi)”, di kampus Fakultas Hukum Unttag kemarin.
Prosedur dan proses perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR selama ini, bernuansa partisan dan penuh dengan campur tangan kepentingan partai-partai politik. Bukan untuk kepentingan rakyat. Jika kepentingan partai yang didahulukan, maka dipastikan setiap proses pembicaraan pembahasan perubahan UUD 1945 selama ini, berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing.
“Para anggota Majelis yang terhormat, melupakan kepentingan rakyat. Bahkan, tak jarang timbul konflik dalam perubahan tersebut. Sehingga dalam melakukan perubahan UUD, mereka mengabaikan unsur-unsur demokrasi, yaitu partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; dan pencapaian kata mufakat. Proses perubahan yang ada cenderung selalu diputus melalui voting,” terang Ketua Umum Yayasan Kebudayaan Indonesia ini.
Soetanto Soepiadhy mengatakan, agar perubahan UUD 1945 sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi, harus dilakukan melalui pembaruan naskah secara komprehensif (renewal), yaitu dengan menerapkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, yang menjelaskan, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (sal)

Meredesain Konstitusi : Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi

MEREDESAIN KONSTITUSI
Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi
Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.
Burung Merak Press, Jakarta
Februari 2008 (Demokrasi)
xxxii + 320 halaman



COVER buku


Pokok-pokok Pikiran
DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.

MEREDESAIN KONSTITUSI
PEMBANGKANGAN SEORANG ANAK BANGSA UNTUK DEMOKRASI

  1. Reformasi yang berlangsung selama ini belum menjangkau persoalan bangsa yang paling hakiki, yaitu semangat dan sikap menuju kemandirian sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat.
  2. Tiga unsur penting tuntutan reformasi, yakni: 1) Perubahan Konstitusi; 2) Pembubaran Dwi Fungsi ABRI; dan 3) Pemberantasan KKN.
  3. Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002) terhadap UUD 1945 ditinjau dari segi prosedur dan proses maupun materi muatan atau substansi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  4. Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi prosedur dan proses tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  5. Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan materi mmuatan atau substansi konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (pemilu); pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi materi muatan atau substansi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  6. Pertanyaan yang muncul kemudian, sistem perubahan UUD 1945 yang dianut: Amandment atau Renewal?
  7. Dengan sistem Amandment (amandemen: perubahan parsial), dalam hal ini telah dilaksanakan pada Perubahan Pertama sampai dengan Keempat, tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  8. Buku ini merupakan perubahan konstitusi dengan sistem Renewal (perubahan menyeluruh/komprehensif). Tanpa disadari pula, buku ini sebagai jawaban terhadap janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah/DPD pada 23 Agustus 2007, dan rapat konsultasi dengan pimpinan DPD di Istana Nagara pada 25 Januari 2008) untuk membentuk Komisi Konstitusi (komisi nasional) yang bertugas menyempurnakan sistem ketatanegaraan dengan mengacu pada perubahan konstitusi secara Renewal.
  9. Dengan sistem Renewal perlu dibentuk Komisi Konstitusi (lihat halaman 236). Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu yang bersifat spesifik. Dalam membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu. Dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik. Sebenarnya, perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR. Mengapa? Seperti diketahui keterlibatan unsur partisan menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik. Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi: “membatasi kekuasaan”, sebaliknya filosofi partai politik: “menguasai kekuasaan”.
  10. Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah diserahkan kepada Komisi Konstitusi yang independen. Komisi Konstitusi tersebut, terdiri atas para pakar berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi kewenangan khusus oleh MPR, bertugas melakukan penyusunan naskah rancangan Konstitusi Baru, menggantikan Konstitusi (UUD). Perubahan konstitusi dan proses demokrasinya dengan melibatkan partisipasi masyarakat/publik (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, civil society, organisasi profesi) yang akan merancang constitution draft atau academic draft Konstitusi Baru. Dengan demikian, para elite MPR tidak melakukan monopoli hak kewenangan konstituante formalnya di atas segalanya.

    Surabaya, Maret 2008
    DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.

18 Juni 2009

Liberty, 20 Mei 1987






Sehari Bersama
SOETANTO SOEPIADHY


Paling kagum pada vitalitas almarhum Chairil Anwar, meskipun tidak berkeinginan untuk mati macam penyair itu. Targetnya kualitas, bukan kuantitas.

SOSOK Soetanto Soepiadhy seringkali muncul di layar televisi Stasiun Surabaya. Dalam acara Tebak Ria, yang melibatkan mahasiswa-mahasiswi perguruan tinggi di Jawa Timur. Soetanto Soepiadhy yang selalu dipanggil dengan Daddy saja, bertindak selaku pembawa acara. Dengan pakaian formal, ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada mahasiswa-mahasiswi yang hadir sebagai peserta.




SOETANTO Soepiadhy, sebagai pembawa acara Kuis Tebak Ria di TVRI

Saat Liberty bertemu dengannya, di kediaman kawasan Semolowaru Elok, Daddy yang sehari-hari dikenal sebagai seorang dosen dan penyair tertawa sumringah. Daddy yang ditemui Liberty, masih tetap Soetanto Soepiadhy yang dulu. Daddy yang tegar dengan idealisme. Daddy yang kaya dengan daya imajinasi. Kalau pun karya-karyanya sudah jarang kita dengar lagi, itu bukan berarti, bahwa Daddy telah tiada.
Lelaki kurus tinggi ini lahir di kota “pudak” Gresik, pada kisaran rasi Taurus. Ia lahir sebagai anak sulung dari enam orang bersaudara. Pepatah Jawa mengatakan, kacang ora ninggal lanjarane. Demikian pulalah kira-kira proses Daddy hingga sekarang menjadi penyair. Tidak dapat dipungkiri, memang darah seni yang ada di dirinya, dialirkan dari ayahnya sendiri, almarhum R.K.Ng. Soepiadhy Sosrosoetardo. Almarhum dikenal sebagai penggemar kesenian tradisional, macam wayang kulit dan karawitan.
Tidak heran memang, kalau putra-putranya banyak yang terttarik pada dunia yang digeluti almarhum ayahnya. Sayangnya, kegembiraan yang direngkuh bersama menjadi sirna, saat ayah tercinta dipanggil keharibaanNya. Saat itu, usia Daddy baru 16 tahun. “Ayah tidak banyak meninggalkan harta untuk kami semua. Beliau hanya meninggalkan kecintaannya yang besar pada dunia seni dalam diri putra-putranya,” katanya sambil pandangannya menerawang jauh ke langit-langit rumah.
Kendati sekilas raut wajahnya nampak baby face, tapi temperamen kepemimpinannya yang menonjol. Hal ini memang tak dapat dipungkiri adanya, karena langkah keyakinannya sebagai organisator telah mencapai titik keberhasilan. Satu laporan dari mahasiswanya yang tak mau disebut namanya, memang merupakan bukti, bahwa dosen termuda ini paling enggan dipanggil dengan sebutan Pak. Tetapi semua mahasiwa memanggilnya Daddy. “Supaya hubungan dapat terjalin lebih komunikatif,” kata Soetanto.
Barangkali kalau kebetulan Soetanto Soepiadhy berada di rumah, itulah waktu senggangnya. Karena memang untuk mencarinya susahnya setengah mati. Sebagai dosen, ia mengajar pada beberapa universitas, di antaranya Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Universitas Dr. Soetomo, Universitas Putra Bangsa, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, dan Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia.




Dari kiri ke kanan: Soetanto Soepiadhy; Deddy Mizwar; pemeran
Ari Hanggara; Sutradara Franky Rorimpandey; dan kedua orang tuanya


Motivasi yang mendorong lahirnya ide untuk menulis puisi, merupakan keharusan baginya. Menanggapi karya penulis puisi yang sudah tua dibandingkan dengan penulis puisi yang ada sekarang, menurut Soetanto pada prinsipnya tidak ada batasan antara yang tua dan yang muda. “Saya hanya memakai batasan dekade, atau sampai seberapa jauh kekuatan penyair dalam satu dekade,” tutur Daddy, yang meski sudah lama menggeluti bidang puisi, tapi masih mengelak kalau disebut sebagai penyair. “Saya cuma seorang dosen saja,” katanya lagi. “Apa yang nampak saat membuat puisi?” “Saya biasa mengambil obyek, kemudian saya rekan dan renungkan. Sepertinya wanita hamil. Hal itu sama dengan proses pembuatan sebuah puisi. Kalau sudah oek (bayi lahir), ya itulah hasilnya,” tambah Daddy dalam menceritakan prosesnyya membuat puisi.
Adalah kenyataan, jika akhirnya kawan seprofesinya angkat topi untk Soetanto, sebab rasanya sudah bukan rahasia lagi apabila kita melihat kumpulan sajak-sajaknya yang berjudul “Bayang-bayang”. Bahkan lebih dari itu, D. Zawawi Imron teman seprofesinya dalam persajakan, mengungkapkan bait yang ada dalam sajaknya, yakni: “Bayang-bayang ada karena ada cahaya, dan bayang-bayang kehidupan selalu muncul di depan kita sehari-hari; hidup adalah gerak. Kumpulan sajak Bayang-bayang itu tak lain adalah sebuah rekaman dari realita. Soetanto Soepiadhy telah memotret manusia termasuk dirinya sendiri dalam sajak-sajak naratif yang menyarankan manusia untuk selalu melihat ke dalam dirinya sendiri, ke dalam bayang-bayangnya sendiri.”


COVER buku “Bayang-bayang”: Soetanto Soepiadhy

Target Daddy pada hakekatnya memang ada. Akan tetapi bukan dalam artian, sehari ia harus menyelesaikan satu, dua, atau tiga puisi. “Saya lebih menitik beratkan pada kualitas daripada kuantitas,” ujar Soetantto Soepiadhy, yang kagum pada vitalitas penyair Chairil Anwar. Memang peranan rasio dalam membuat puisi itu lebih baik, dan itupun masih harus ditunjang dengan pengungkapan jiwa. Dan, kedua-duanya harus berimbang dan saling berkaitan. Selain itu untuk melihat puisi yang baik, juga harus berangkat dari satu intuisi yang baik pula. Selain kecermatan, kepandaian, juga harus dimiliki intelektualitas yang tinggi. “Karena di dalamnya dibutuhkan renungan, bukan melamun, tetapi berpikir secara kritis,” tambah Soetanto Soepiadhy. Di rumahnya, ia memiliki sketsa hitam putih, sebuah renungan yang sarat dengan benda-benda seni, karya seniman Jawa Timur.
Masih banyak sebetulnya kesibukan Soetanto Soepiadhy dalam melewatkan hari-harinya. Ia juga aktif dalam kegiatan pementasan drama, baik selaku sutradara maupun sebagai pemain. Memang layak dikagumi, saat ia berturut-turut keluar sebagai “pembaca favorit” dalam festival puisi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA), dari tahun 1980, 1981, dan 1982. Selain itu, ia pernah juga menjadi Project Officer Sanggar Sastra Surabaya.

FOTO atas: Henry Noorcahyo; Soetanto Soepiadhy;
Bambang Harryadjie BS; Moedjiono PS (alm); foto bawah:
adegan drama lawan catur

Nama Soetanto Soepiadhy semakin bertambah terkenal, saat kumpulan puisinya “dicabut” oleh rock band terkenal asal Surabaya, SAS Group untuk dijadikan lagu seperti dalam album Kasmaran, 1979; album Laila, 1979; album SAS, 1980; album Indonesia, 1980; album Sansekerta, 1981, album Ilusi, 1982; album Larantuka, 1983, dan album Rudal, 1984.




LIRIK lagu karya Soetanto SoepiadhyIndonesia dalam majalah Aktuil, Bandung

Sedangkan prestasi internasional yang pernah disandangnya adalah saat ia menjabat Vice President Indonesia untuk Junior Chamber International. Dan untuk kegiatan yang satu ini, Soetanto Soepiadhy pernah memperoleh Presidential Award for Recruitment dari Amerika. Selamat berkarya.

Hermanadi