KOMPAS, SELASA, 22 APRIL 2008
Pemkot Surabaya
Menelan Jalan Kenari
SAYA membaca buku DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. yang berjudul Meredesain Konstitusi. Esensi buku ini menghendaki agar produk-produk hukum yang diundangkan bagi kepentingan bangsa bisa “adil” kesetaraan bagi hak-hak rakyat.
Bagi rakyat, kedaulatan hukum yang “adil” semestinya memiliki kekuatan yang timbal-balik, yaitu kekuatan hukum bagi “penguasa”, sebaliknya juga kekuatan hukum bagi “daulat rakyat”. Sebagai misal, kalau pelanggaran bagi Pemkot Surabaya, bisa ditoleransi atau bisa direkomendasi, sementara bagi rakyat yang melanggar sepertinyya tanpa ampun sama sekali.
Contoh soal, kasus hilangnya Jalan Kenari, Surabaya, di mata rakyat selama ini jadi bingung karena ulah Pemkot Surabaya. Karena apa? Jalan Kenari Surabaya, apa pun alasannya ini adalah akses jalan “milik rakyat” Surabaya. Di mana di lembaran “peta” Surabaya yang namanya Jalan Kenari itu secara hukum “telah sah ada”, tetapi oleh Pemkot Surabaya dihilangkan begitu saja secara fisik. Dalam hal ini, hak-hak rakyat telah dilanggar atau dihilangkan begitu saja.
Rakyat sepertinya tak berdaya bila ingin protes ke Pemkot Surabaya dan tak ingin bersibuk-sibuk untuk protes masalah demikian. Sementara DPRD yang katanya sebagai wakil rakyat seakan tak pernah menanyakan hal-ihwal Jalan Kenari. Mungkin juga “pernah ada”, tetapi suaranya telah ditelan angin, sehingga terkesan tak kedengaran sama sekali.
Di lain pihak, bila Pemkot Surabaya juga ingin menggusur pedagang kali lima (PKL) selalu atas nama ketertiban masyarakat, di mana PKL dianggap suka makan badan jalan. Lalu, dalam kasus hilangnya Jalan Kenari, bukan sekadar “makan jalan”, tetapi sudah “menelan jalan”.
Maka di sini, siapa yang memakan dan siapa yang dimakan? Oleh sebab itu, mari kita renungkan, bukan salah-salahan.
YOESMADI
Kedung Pengkol
Tidak ada komentar:
Posting Komentar