03 Juli 2009

Soetanto : Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

KALTIM POST, SELASA, 1 APRIL 2008



Luncurkan Buku Meredesain Konstitusi
di Universitas Tridharma
Soetanto: Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

BALIKPAPAN – Era reformasi telah kita lalui selama sepuluh tahun. “Antek-antek” Orde Baru perlahan berganti generasi. Namun, keadaan negeri ini tak jauh berubah. Ada apa sebenarnya dengan konstitusi kita selama ini? Padahal MPR telah mengamandemen UUD 1945 empat kali.
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH., guru besar Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, yang Senin (31/3) kemarin meluncurkan buku karyanya di Universitas Tridharma Balikpapan.
Buku berjudul Meredesain Konstitusi ini merupakan karya ke-18 dosen yang akrab dipanggil Daddy itu. Dosen dan mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Untag asal Balikpapan ikut menghadiri peluncuran buku tersebut. Acara ini dipandu dosen Fakultas Hukum Drs. Ec. Juhri Asri, SH., SSos.
Dalam bukunya, Daddy mengupas berbagai hal tentang konstitusi Indonesia yang carut-marut. Unsur-unsur demokrasi untuk mengubah konstitusi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi. Selain itu, jaminan hak asasi manusia, pemilihan umum, pemerintahan yang bertanggung jawab, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat, dan persamaan di hadapan hukum tidak dapat terealisasi.
Amandemen UUD 1945 pertama sampai keempat, dianggap Daddy, tidak berhasil mengembangkan demokrasi. Bahkan, menghalangi proses demokrasi. Daddy berharap buku ini bisa menjadi kontribusi nyata untuk melakukan perubahan menyeluruh/komprehensif terhadap konstitusi. “UUD 1945 bukanlah kitab suci yang datang dari Tuhan. UUD 1945 boleh diubah,” tegas Soetanto Soepiadhy. Perubahan yang dimaksud adalah kearah demokrasi yang lebih mandiri.
Menurutnya, untuk melakukan renewal (perubahan menyeluruh/ komprehensif), harus dibentuk Komisi Konstitusi, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kemampuan. Komisi Konstitusi diseleksi oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik; karena seharusnya perubahan UUD 1945 bukan ditangani oleh MPR. “Mereka terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu, perwakilan daerah, dan tokoh independen yang diberi kewenangan khusus oleh MPR,” ujarnya.
Ditegaskan, keterlibatan unsur partisan dalam MPR menjadikan setiap proses pembicaraan berubah menjadi wahana mendesakkan kepentingan berbagai pihak, sehingga merugikan kepentingan rakyat yang diusungnya. Bahkan, dapat memunculkan konflik baru dalam tatanan masyarakat. “Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya, filosofi partai politik adalah menguasai kekuasaan,” ucapnya. (*/jaz)

Tidak ada komentar: