09 Juli 2009

Meredesain Konstitusi : Foto-foto Peluncuran Buku di Banyuwangi

Peluncuran Buku Ke 18

DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.
MEREDESAIN KONSTITUSI
Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi

Banyuwangi, Mei 2008


















Pemkot Surabaya Menelan Jalan Kenari

KOMPAS, SELASA, 22 APRIL 2008

Pemkot Surabaya
Menelan Jalan Kenari



SAYA membaca buku DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. yang berjudul Meredesain Konstitusi. Esensi buku ini menghendaki agar produk-produk hukum yang diundangkan bagi kepentingan bangsa bisa “adil” kesetaraan bagi hak-hak rakyat.

Bagi rakyat, kedaulatan hukum yang “adil” semestinya memiliki kekuatan yang timbal-balik, yaitu kekuatan hukum bagi “penguasa”, sebaliknya juga kekuatan hukum bagi “daulat rakyat”. Sebagai misal, kalau pelanggaran bagi Pemkot Surabaya, bisa ditoleransi atau bisa direkomendasi, sementara bagi rakyat yang melanggar sepertinyya tanpa ampun sama sekali.
Contoh soal, kasus hilangnya Jalan Kenari, Surabaya, di mata rakyat selama ini jadi bingung karena ulah Pemkot Surabaya. Karena apa? Jalan Kenari Surabaya, apa pun alasannya ini adalah akses jalan “milik rakyat” Surabaya. Di mana di lembaran “peta” Surabaya yang namanya Jalan Kenari itu secara hukum “telah sah ada”, tetapi oleh Pemkot Surabaya dihilangkan begitu saja secara fisik. Dalam hal ini, hak-hak rakyat telah dilanggar atau dihilangkan begitu saja.
Rakyat sepertinya tak berdaya bila ingin protes ke Pemkot Surabaya dan tak ingin bersibuk-sibuk untuk protes masalah demikian. Sementara DPRD yang katanya sebagai wakil rakyat seakan tak pernah menanyakan hal-ihwal Jalan Kenari. Mungkin juga “pernah ada”, tetapi suaranya telah ditelan angin, sehingga terkesan tak kedengaran sama sekali.
Di lain pihak, bila Pemkot Surabaya juga ingin menggusur pedagang kali lima (PKL) selalu atas nama ketertiban masyarakat, di mana PKL dianggap suka makan badan jalan. Lalu, dalam kasus hilangnya Jalan Kenari, bukan sekadar “makan jalan”, tetapi sudah “menelan jalan”.
Maka di sini, siapa yang memakan dan siapa yang dimakan? Oleh sebab itu, mari kita renungkan, bukan salah-salahan.

YOESMADI
Kedung Pengkol

Pembangkang Ngalap Berkah

SURYA, RABU, 9 APRIL 2008

Soetanto Soepiadhy Luncurkan Buku Ke-18
Pembangkang Ngalap Berkah


“Selama saya hidup, saya akan terus memilih demokrasi,” itulah kalimat tegas dari Dr. Soetanto Soepiadhy, saat meluncurkan bukunya ke-18, berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi, di Warung Legen, Jalan Veteran Gresik, Senin (7/4) malam.

MUSTAIN, GRESIK

DI depan puluhan undangan, di antaranya teman-teman semasa SMA, lelaki kelahiran Desa Gapuro Sukolilo, Kecamatan Gresik ini tampak berapi-api saat menyampaikan obsesinya. Ia ingin, agar Indonesia bisa menerapkan demokrasi yang partisipatif, tidak demokrasi yang sekedar representatif. “Sehingga akan melahirkan kebijakan yang populis, yang memihak rakyat,” kata Bung Tanto, panggilan akrabnya.
Selama memaparkan sekilas buku biografinya, yang disusun Fananie Anwar, seorang wartawan senior Surabaya, beberapa kali Doktor Hukum Tata Negara ini menyentil keadaan demokrasi Indonesia saat ini.
Ia juga beralasan, kenapa sampai sekarang enggan bergabung dengan partai politik. “Sebab, saya melihat belum ada partai yang benar-benar membela kepentingan rakyat,” kata Bung Tanto.
Buku itu seakan menasbihkan sosok Soetanto Soepiadhy yang menggandrungi demokrasi. Jika diminta memilih, misalnya, gaya pemerintahan otoriter Tiongkok yang berhasil mensejahterakan rakyatnya, Soetanto tetap memilih gaya demokrasi. “Selama saya hidup, saya akan terus memilih demokrasi.” Tegas Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib).
Soetanto bahkan bertekad, akan menjadi bagian dari masyarakat yang akan terus mengkritisi kebijakan pemerintah. Ia sudah membuktikan, dengan menolak jabatan di Kopertis, lembaga yang menaungi perguruan tinggi swasta. “Saya ingin tetap berdiri di luar, namun tetap kritis,” tekad Bung Tanto.


Dalam buku setebal 320 halaman itu, Soetanto Soepiadhy menyatakan, perubahan konstitusi mestinya dilakukan secara menyeluruh/komprehensif (renewal), bukan perubahan parsial (amandment), sehingga perubahan konstitusi secara komprehensif, butuh Komisi Konstitusi yang bekerja secara independen, dan anggotanya ditetapkan melalui ketetapan MPR. ”Jadi perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR,” tegasnya.
Komisi Konstitusi itu, nantinya beranggotakan pakar dari beragam ilmu, dan dalam prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat, yang diwakili oleh unsur perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), civil society, dan organisasi profesi. “Merekalah yang akan merancang draf akademik konstitusi baru,” papar Soetanto Soepiadhy.
Keturunan Kyai Tumenggung Poesponegoro, Bupati Gresik Pertama ini mengaku, senagaja meluncurkan bukunya ke 18 ini di kota kelahirannya. Sebab di Gresik juga telah dilahirkan sejumlah ulama kondang, yaitu Kanjeng Sunan Giri dan Sunan Maulana Malik Ibrahim. “Saya ingin mendapat berkah,” tegasnya.
Selain ingin ngalap berkah dari para wali, Bung Tanto juga ingin mendapat rrestu dari para gurunya di SMAN I Gresik. Salah satu guru yang paling dihormati, KH. Mochtar Jamil.
Saking hormatnyya kepada sang ulama kondang ini, Bung Tanto sampai secara khusus memberikan bukunya tersebut.
Di mata Fananie Anwar, sang menyusun buku, sosok Soetanto Soepiadhy dikenal sebagai sosok pembangkang. Tak heran, kata-kata pembangkang juga menghiasi sub judul bukunya tersebut. “Bung Tanto tidak akan tinggal diam jika melihat ketidakadilan di sekitarnya, misalnya, upaya penggusuran para PKL,” kata Fananie Anawar. (*)

07 Juli 2009

Peluncuran Buku di Warung Legen

SURYA, SABTU, 19 APRIL 2008


Peluncuran Buku di Warung Legen



HARIAN Surya 9 April 2008 memberitakan tentang Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. meluncurkan buku barunya yang ke-18 di sebuah warung legen di Kota Gresik.
Yang menarik, di saat-saat warung telah digusur pemerintah daerah dan pemerintah kota di mana-mana, justru Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. dosen Pascasarjana Untag Surabaya, malah memilih warung legen di Jalan Veteran, Gresik, sebagai tempat peluncuran bukunya yang berjudul Meredesain Konstitusi.
Entah, apa yang melatarbelakangi hingga doktor yang budayawan ini sengaja memilih warung legen sebagai ajang peluncuran bukunya. Mungkin, pertanda sebagai protes sosial terhadap fenomena penggusuran warung-warung yang ada di mana-mana.
Yang jelas Soetanto Soepiadhy dalam perjalanan hidupnya tak bisa melepaskan diri dari makan dan minum di warung kaki lima bersama sahabatnya.
Selepas peluncuran, ketika ngobrol, ia bisa membayangkan, apakah benar rakyat Indonesia telah siap ditinggalkan warung-warung PKL, yang notabene rakyat kita masih miskin ini? Tanyanya.

Ia berpendapat, pejabat yang suka nggusar-nggusur itu dulunya juga biasa makan di warung-warung. Hanya, sekarang saja sudah jadi penggede lalu lupa pada kaki lima, katanya sambil ketawa.
Tidak lain, Soetanto Soepiadhy yang bergelar doktor hukum ketatanegaraan, melihat ada ketimpangan hukum yang kurang berimbang terhadap rakyat kita.
Untuk inilah, ia begitu serius berjuang agar hukum di Indonesia harus didesain kembali atau ditata ulang secara menyeluruh/komprehensif.
Lalu mengapa memilih warung yang jauh di Gresik? Di samping Kota Gresik adalah kota kelahirannya. “Kan di Gresik masih aman dari penggusuran warung-warung,” kata Dr. Soetanto Soepiadhy yang membanggakan kotanya.

Duari Joesoef
Kawatan X-14
Surabaya

Soetanto Soepiadhy, Doktor Hukum Tata Negara Asli Gresik

RADAR SURABAYA, KAMIS, 10 APRIL 2008

Soetanto Soepiadhy,
Doktor Hukum Tata Negara Asli Gresik
Diundang Presiden untuk Menyampaikan Gagasan
Perubahan Konstitusi


ARIES WAHYUDIANTO, Gresik

DI era Presiden Soeharto, dia pernah ditawari menjadi dosen Kopertis dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun ditolak. Kini, meski memiliki hubungan dengan Mendagri, lagi-lagi dia secara tegas menolak memanfaatkan untuk mencari keuntungan. Baginya, terlahir sebagai seorang dosen atau pengajar swasta adalah jalan hidupnya. Lalu siapakah Soetanto Soepiadhy ini?
SEDERHANA, tapi penampilannya selalu necis dan perlente serta gayanya yang blak-blakan, menjadi ciri khas, pria kelahiran kampung Gapuro Sukolilo, Kecamatan Gresik, 55 tahun silam ini. Selepas menamatkan sekolah di SMA 1 Gresik, Soetanto kemudian berkelana dan berguru.
Hingga akhirnya pada 2006 lalu, dia mendapat gelar doktor hukum tata negara dari kampus almamaternya, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Bahkan, sebutan profesor tinggal menunggu hitungan hari untuk melengkapi gelar penerima Presidential Award for Recruitment JCI, Amerika Serikat.
Dosen tetap Untag Surabaya ini, tidak hanya piawai dalam mengajar. Dalam urusan penulisan buku, Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib) ini, termasuk ilmuwan yang rajin menelurkan karya-karya ilmiahnya. Hingga akhir 2007 lalu, sudah 19 buku ilmiah maupun budaya yang dihasilkan dari pemikiran Direktur “Soetanto Soepiadhy Private Library”.



Yang mengesankan, karyanya berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi, kini menjadi kajian anggota MPR di Jakarta. Beberapa kali, pria yang juga seorang budayawan ini diundang badan pekerja MPR dan DPD hingga presiden untuk menyampaikan gagasan terhadap perubahan konstitusi.
Dalam buku setebal 320 halaman ini membahas kajian perubahan konstitusi, UUD 1945, seperti yang diamanatkan dalam tuntutan reformasi. Ada satu poin mendasar dalam pemikiran Soetanto Soepiadhy terkait perubahan konstitusi, supremasi hukum negeri ini, yakni melakukan renewal atau perubahan secara komprehensif/menyeluruh. Dia menilai, konsep ini harus dijalankan, karena perubahan melalui amandemen yang dilakukan MPR, dianggap tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Dalam gagasannya, Soetanto Soepiadhy menawarkan perubahan konsep konstitusi dengan sistem renewal. Konsep ini tidak serta merta muncul. Sebab, gagasan ini justru pernah mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan jawaban dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Agustus 2007 lalu.
“Untuk melaksanakan sistem renewal perlu dibentuk Komisi Konstitusi, sebab perubahan UUD 1945 perlu orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi. Orang-orang ini bisa diambil dari pakar perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, dan civil society,” saran dia.
Dia membandingkan perubahan konstitusi yang sudah dilaksanakan oleh Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan. Perlu ada 30 hingga 100 orang pakar untuk membahas perubahan melalui Komisi Konstitusi.





Untuk membahasnya, hanya butuh waktu antara 3 bulan hingga 2 tahun. “Kalau kita bisa ambil tengah-tengahnya. Saya yakin, kalau perubahan konstitusi ditangani komisi khusus, maka output yang dihasilkan akan mewakili seluruh kepentingan masyarakat. Dan bukan MPR yang menghasilkan, karena MPR banyak dihuni oleh unsur partisan yang memiliki politik kepentingan,” kata Soetanto Soepiadhy. (*)

03 Juli 2009

Kupas Tuntas Persoalan Konstitusi Indonesia

BALIKPAPAN KOTA, SELASA, 1 APRIL 2008

Kupas Tuntas Persoalan Konstitusi Indonesia
Dari Peluncuran Buku Dr. Soetanto Soepiadhy
di Kampus Untri

BALIKPAPAN – Perubahan konstitusi secara menyeluruh/komprehensif menyangkut sektor hukum, menjadi tujuan dalam peluncuran buku karya Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. berjudul “Meredesain Konstitusi: Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” di Universitas Tri Dharma (Untri), di kawasan Jalan Somber Balikpapan, Senin (31/3) kemarin.
“Buku ini merupakan perubahan konstitusi dengan sistem renewal (menyeluruh/komprehensif). Dengan sistem renewal, perlu dibentuk Komisi Konstitusi yang independen. Para pakar yang masuk dalam komisi tersebut harus dilakukan seleksi secara ketat oleh MPR,” kata Soetanto Soepiadhy yang semangat membicarakan perubahan UUD 1945 bersama tokoh-tokoh reformasi lainnya ini.

Para pakar harus berasal dari berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi kewenangan khusus oleh MPR, melakukan penyusunan naskah rancangan Konstitusi Baru menggantikan UUD 1945. Bisa saja nama Konstitusi Baru masih tetap menggunakan UUD 1945.
Perubahan konstitusi dalam proses demokrasinya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau publik yang akan merancang constitutional draft atau academic draft konstitusi baru. Dengan demikian, tak ada monopoli hak kewenangan konstituante formalnya di atas segalanya. “Dalam hal ini, saya tidak memakai demokrasi representatifnya MPR, tapi memakai demokrasi partisipatoris, karena melibatkan rakyat,” ujarnya.
Buku setebal 320 halaman, yang ke 18 ini, membahas tuntas mengenai konstitusi di Indonesia saat ini. Melalui pemikiran-pemikiran cemerlang Soetanto Soepiadhy yang pernah menerima penghargaan Presidential Award for Recruitment JCI, dari Amerika itu, dipaparkan dengan lugas dan mudah dipahami.
Bahkan, Ketua Komisi Konstitusi, Prof. Dr. H.R.T. Sri Soemantri memuji langkah Soetanto Soepiadhy dalam pemikiran merubah konstitusi, karena hal itu dianggap sebagai upaya mendasar untuk mengkaji konstitusi yang ada.
Sebagai alternatifnya mengajukan sebuah konstitusi yang baru, WS. Rendra mengungkapkan hal yang sama terkait pemikiran Soetanto Soepiadhy, karena dinilai menaruh perhatian besar terhadap cacat-cacat di dalam hukum ketatanegaraan Indonesia.
Buku Soetanto Soepiadhy tersebut bisa didapatkan di seluruh toko buku di Balikpapan maupun kota-kota besar lainnya. Bagi praktisi hukum, mahasiswa dan masyarakat umum sangat perlu membuka wawasan tentang hukum ketatanegaraan melalui buku yang disajikan guru besar hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini. (bai)

Soetanto : Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

KALTIM POST, SELASA, 1 APRIL 2008



Luncurkan Buku Meredesain Konstitusi
di Universitas Tridharma
Soetanto: Amandemen UUD 1945 Tidak Berhasil

BALIKPAPAN – Era reformasi telah kita lalui selama sepuluh tahun. “Antek-antek” Orde Baru perlahan berganti generasi. Namun, keadaan negeri ini tak jauh berubah. Ada apa sebenarnya dengan konstitusi kita selama ini? Padahal MPR telah mengamandemen UUD 1945 empat kali.
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH., guru besar Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, yang Senin (31/3) kemarin meluncurkan buku karyanya di Universitas Tridharma Balikpapan.
Buku berjudul Meredesain Konstitusi ini merupakan karya ke-18 dosen yang akrab dipanggil Daddy itu. Dosen dan mahasiswa pascasarjana Fakultas Hukum Untag asal Balikpapan ikut menghadiri peluncuran buku tersebut. Acara ini dipandu dosen Fakultas Hukum Drs. Ec. Juhri Asri, SH., SSos.
Dalam bukunya, Daddy mengupas berbagai hal tentang konstitusi Indonesia yang carut-marut. Unsur-unsur demokrasi untuk mengubah konstitusi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi. Selain itu, jaminan hak asasi manusia, pemilihan umum, pemerintahan yang bertanggung jawab, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat, dan persamaan di hadapan hukum tidak dapat terealisasi.
Amandemen UUD 1945 pertama sampai keempat, dianggap Daddy, tidak berhasil mengembangkan demokrasi. Bahkan, menghalangi proses demokrasi. Daddy berharap buku ini bisa menjadi kontribusi nyata untuk melakukan perubahan menyeluruh/komprehensif terhadap konstitusi. “UUD 1945 bukanlah kitab suci yang datang dari Tuhan. UUD 1945 boleh diubah,” tegas Soetanto Soepiadhy. Perubahan yang dimaksud adalah kearah demokrasi yang lebih mandiri.
Menurutnya, untuk melakukan renewal (perubahan menyeluruh/ komprehensif), harus dibentuk Komisi Konstitusi, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kemampuan. Komisi Konstitusi diseleksi oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik; karena seharusnya perubahan UUD 1945 bukan ditangani oleh MPR. “Mereka terdiri dari pakar berbagai disiplin ilmu, perwakilan daerah, dan tokoh independen yang diberi kewenangan khusus oleh MPR,” ujarnya.
Ditegaskan, keterlibatan unsur partisan dalam MPR menjadikan setiap proses pembicaraan berubah menjadi wahana mendesakkan kepentingan berbagai pihak, sehingga merugikan kepentingan rakyat yang diusungnya. Bahkan, dapat memunculkan konflik baru dalam tatanan masyarakat. “Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya, filosofi partai politik adalah menguasai kekuasaan,” ucapnya. (*/jaz)

Tak Berhenti hingga 50 Buku

Jawa Pos – Selasa 18 Maret 2008

Tak Berhenti hingga 50 Buku

DOKTOR Soetanto Soepiadhy, SH., MH. masih juga betah menulis. Pakar hukum tata negara itu memang menganggap, bahwa menulis sudah jadi bagian hidupnya. Beberapa waktu lalu, Bung Tanto – sapaan Soetanto Soepiadhy – kembali meluncurkan buku. Itu buku ke delapan belas yang ditulis.
Buku tersebut berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi. Penerima Presidential Award for Recruitment (JCI) yang berpusat di Amerika itu pun menegaskan kembali komitmennya pada demokrasi lewat bukunya.
“Meski Tiongkok dianggap sukses membuat rakyatnya makmur dengan totalitarianism-nya, Soetanto Soepiadhy tetap memilih demokrasi,” tegas dosen Fakultas Hukum di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya dan Universitas Narotama tersebut.

Bung Tanto sudah terbiasa menulis sejak kecil. Umumnya, puisi dan cerpen. Ketika Mingguan Mahasiswa masih jaya, Bung Tanto tak ketinggalan mengirimkan karyanya. “Saat masih kuliah, saya malah sudah menerbitkan kumpulan puisi. Semacam bunga rampai gitu lah,’ tutur karib penyair WS. Rendra tersebut.
Bunga rampai Bung Tanto kala itu berisi hingga 50 puisi. Maklum, Ketua Umum Yayasan Kebudayaan Indonesia tersebut memang sedang gandrung dengan dunia sastra. Jurusannya saja Sastra Inggris.
Sampai kapan menulis buku? Bung Tanto berjanji takkan berhenti menulis buku. Terutama, menyuarakan perbaikan hukum dan demokrasi di Indonesia.
“Paling tidak, sebelum mati, saya harus sudah menyelesaikan 50 buku,” kata Direktur “Soetanto Soepiadhy Private Library” tersebut berharap. (aga/dos)

01 Juli 2009

Perubahan Konstitusi Mengarah Partisan

DUTA MASYARAKAT, Jumat, 14 Maret 2008

Perubahan Konstitusi Mengarah Partisan


SURABAYA – Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi prosedur dan proses tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Begitu pula unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan materi mmuatan atau substansi konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (pemilu); pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
“Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu kerja yang bersifat spesifik,” kata Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH. dalam launching bukunya berjudul “Meredesain Konstitusi: Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Kamis (13/3).
Kata Doktor Hukum Tata Negara ini, perubahan tersebut harus ditangani orang-orang yang berkemampuan dan mempunyai kompetensi untuk itu. Mereka diseleksi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara terbuka, transparan, dan dipantau publik. Jadi, perubahan UUD 1945 tidak ditangani MPR, karena keterlibatan unsur partisan di tubuh MPR menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka melupakan kepentingan rakyat dan bahkan kerap menimbulkan konflik.
“Sesuai adagium, filosofi konstitusi adalah membatasi kekuasaan, sebaliknya filosofi partai atau partisan adalah menguasai kekuasaan,” paparnya.
Soetanto Soepiadhy menjelaskan, solusi perubahan UUD 1945 dalam prospek perkembangan demokrasi dengan cara pembaruan naskah secara komprehensif (renewal), yaitu tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 dan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dasar pemikiran pembaruan naskah konstitusi ini, bukan hanya pembaruan tekstual pasal-pasal, tapi dimaksudkan untuk perubahan format politik kekuasaan suatu masyarakat ke arah lebih baik. Perubahan konstitusi dalam prospek perkembangan demokrasi melibatkan partisipasi masyarakat, civil society, dilakukan oleh Komisi Konstitusi yang legalitasnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga, yakni merancang constitution draft atau academic draft Konstitusi Baru. (ger)