Liberty, 20 Mei 1987
Sehari Bersama
SOETANTO SOEPIADHY
Paling kagum pada vitalitas almarhum Chairil Anwar, meskipun tidak berkeinginan untuk mati macam penyair itu. Targetnya kualitas, bukan kuantitas.
SOSOK Soetanto Soepiadhy seringkali muncul di layar televisi Stasiun Surabaya. Dalam acara Tebak Ria, yang melibatkan mahasiswa-mahasiswi perguruan tinggi di Jawa Timur. Soetanto Soepiadhy yang selalu dipanggil dengan Daddy saja, bertindak selaku pembawa acara. Dengan pakaian formal, ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada mahasiswa-mahasiswi yang hadir sebagai peserta.
SOETANTO Soepiadhy, sebagai pembawa acara Kuis Tebak Ria di TVRI
Saat Liberty bertemu dengannya, di kediaman kawasan Semolowaru Elok, Daddy yang sehari-hari dikenal sebagai seorang dosen dan penyair tertawa sumringah. Daddy yang ditemui Liberty, masih tetap Soetanto Soepiadhy yang dulu. Daddy yang tegar dengan idealisme. Daddy yang kaya dengan daya imajinasi. Kalau pun karya-karyanya sudah jarang kita dengar lagi, itu bukan berarti, bahwa Daddy telah tiada.
Lelaki kurus tinggi ini lahir di kota “pudak” Gresik, pada kisaran rasi Taurus. Ia lahir sebagai anak sulung dari enam orang bersaudara. Pepatah Jawa mengatakan, kacang ora ninggal lanjarane. Demikian pulalah kira-kira proses Daddy hingga sekarang menjadi penyair. Tidak dapat dipungkiri, memang darah seni yang ada di dirinya, dialirkan dari ayahnya sendiri, almarhum R.K.Ng. Soepiadhy Sosrosoetardo. Almarhum dikenal sebagai penggemar kesenian tradisional, macam wayang kulit dan karawitan.
Tidak heran memang, kalau putra-putranya banyak yang terttarik pada dunia yang digeluti almarhum ayahnya. Sayangnya, kegembiraan yang direngkuh bersama menjadi sirna, saat ayah tercinta dipanggil keharibaanNya. Saat itu, usia Daddy baru 16 tahun. “Ayah tidak banyak meninggalkan harta untuk kami semua. Beliau hanya meninggalkan kecintaannya yang besar pada dunia seni dalam diri putra-putranya,” katanya sambil pandangannya menerawang jauh ke langit-langit rumah.
Kendati sekilas raut wajahnya nampak baby face, tapi temperamen kepemimpinannya yang menonjol. Hal ini memang tak dapat dipungkiri adanya, karena langkah keyakinannya sebagai organisator telah mencapai titik keberhasilan. Satu laporan dari mahasiswanya yang tak mau disebut namanya, memang merupakan bukti, bahwa dosen termuda ini paling enggan dipanggil dengan sebutan Pak. Tetapi semua mahasiwa memanggilnya Daddy. “Supaya hubungan dapat terjalin lebih komunikatif,” kata Soetanto.
Barangkali kalau kebetulan Soetanto Soepiadhy berada di rumah, itulah waktu senggangnya. Karena memang untuk mencarinya susahnya setengah mati. Sebagai dosen, ia mengajar pada beberapa universitas, di antaranya Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Universitas Dr. Soetomo, Universitas Putra Bangsa, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, dan Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia.
Dari kiri ke kanan: Soetanto Soepiadhy; Deddy Mizwar; pemeran
Ari Hanggara; Sutradara Franky Rorimpandey; dan kedua orang tuanya
Motivasi yang mendorong lahirnya ide untuk menulis puisi, merupakan keharusan baginya. Menanggapi karya penulis puisi yang sudah tua dibandingkan dengan penulis puisi yang ada sekarang, menurut Soetanto pada prinsipnya tidak ada batasan antara yang tua dan yang muda. “Saya hanya memakai batasan dekade, atau sampai seberapa jauh kekuatan penyair dalam satu dekade,” tutur Daddy, yang meski sudah lama menggeluti bidang puisi, tapi masih mengelak kalau disebut sebagai penyair. “Saya cuma seorang dosen saja,” katanya lagi. “Apa yang nampak saat membuat puisi?” “Saya biasa mengambil obyek, kemudian saya rekan dan renungkan. Sepertinya wanita hamil. Hal itu sama dengan proses pembuatan sebuah puisi. Kalau sudah oek (bayi lahir), ya itulah hasilnya,” tambah Daddy dalam menceritakan prosesnyya membuat puisi.
Adalah kenyataan, jika akhirnya kawan seprofesinya angkat topi untk Soetanto, sebab rasanya sudah bukan rahasia lagi apabila kita melihat kumpulan sajak-sajaknya yang berjudul “Bayang-bayang”. Bahkan lebih dari itu, D. Zawawi Imron teman seprofesinya dalam persajakan, mengungkapkan bait yang ada dalam sajaknya, yakni: “Bayang-bayang ada karena ada cahaya, dan bayang-bayang kehidupan selalu muncul di depan kita sehari-hari; hidup adalah gerak. Kumpulan sajak Bayang-bayang itu tak lain adalah sebuah rekaman dari realita. Soetanto Soepiadhy telah memotret manusia termasuk dirinya sendiri dalam sajak-sajak naratif yang menyarankan manusia untuk selalu melihat ke dalam dirinya sendiri, ke dalam bayang-bayangnya sendiri.”
COVER buku “Bayang-bayang”: Soetanto Soepiadhy
Target Daddy pada hakekatnya memang ada. Akan tetapi bukan dalam artian, sehari ia harus menyelesaikan satu, dua, atau tiga puisi. “Saya lebih menitik beratkan pada kualitas daripada kuantitas,” ujar Soetantto Soepiadhy, yang kagum pada vitalitas penyair Chairil Anwar. Memang peranan rasio dalam membuat puisi itu lebih baik, dan itupun masih harus ditunjang dengan pengungkapan jiwa. Dan, kedua-duanya harus berimbang dan saling berkaitan. Selain itu untuk melihat puisi yang baik, juga harus berangkat dari satu intuisi yang baik pula. Selain kecermatan, kepandaian, juga harus dimiliki intelektualitas yang tinggi. “Karena di dalamnya dibutuhkan renungan, bukan melamun, tetapi berpikir secara kritis,” tambah Soetanto Soepiadhy. Di rumahnya, ia memiliki sketsa hitam putih, sebuah renungan yang sarat dengan benda-benda seni, karya seniman Jawa Timur.
Masih banyak sebetulnya kesibukan Soetanto Soepiadhy dalam melewatkan hari-harinya. Ia juga aktif dalam kegiatan pementasan drama, baik selaku sutradara maupun sebagai pemain. Memang layak dikagumi, saat ia berturut-turut keluar sebagai “pembaca favorit” dalam festival puisi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA), dari tahun 1980, 1981, dan 1982. Selain itu, ia pernah juga menjadi Project Officer Sanggar Sastra Surabaya.
FOTO atas: Henry Noorcahyo; Soetanto Soepiadhy;
Bambang Harryadjie BS; Moedjiono PS (alm); foto bawah:
adegan drama lawan catur
Nama Soetanto Soepiadhy semakin bertambah terkenal, saat kumpulan puisinya “dicabut” oleh rock band terkenal asal Surabaya, SAS Group untuk dijadikan lagu seperti dalam album Kasmaran, 1979; album Laila, 1979; album SAS, 1980; album Indonesia, 1980; album Sansekerta, 1981, album Ilusi, 1982; album Larantuka, 1983, dan album Rudal, 1984.
LIRIK lagu karya Soetanto SoepiadhyIndonesia dalam majalah Aktuil, Bandung
Sedangkan prestasi internasional yang pernah disandangnya adalah saat ia menjabat Vice President Indonesia untuk Junior Chamber International. Dan untuk kegiatan yang satu ini, Soetanto Soepiadhy pernah memperoleh Presidential Award for Recruitment dari Amerika. Selamat berkarya.
Hermanadi