30 Juni 2009

Tak Masalah Disebut Pembangkang

RADAR SURABAYA, JUMAT, 14 MARET 2008


Tak Masalah Disebut Pembangkang

SEMOLOWARU-RADAR* Buku ke-18 Soetanto Soepiadhy berjudul “Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi” diluncurkan, Kamis (13/3). Buku setebal 320 halaman yang diselesaikan penulisnya kurang dari setengah tahun, adalah hasil kompilasi tugas disertasinya, serta dua buku sebelumnya, yakni Meredesain Konstitusi, dan Undang-Undang Dasar 1945: Kekosongan Politik Hukum Makro.
Kritik tajam terhadap perjalanan demokrasi serta reformasi di Indonesia, diluapkan Soetanto Soepiadhy dalam buku terakhirnya. “Reformasi yang berlangsung selama ini belum menjangkau persoalan bangsa yang paling hakiki. Semangat dan sikap kemandirian sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat di negeri ini, masih terkungkung otoriter,” kata Bung Tanto di sela peluncuran bukunya di Fakultas Hukum (FH) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, kemarin.

Menurutnya, ada tiga unsur penting tuntutan reformasi yang bisa mengubah wajah Indonesia. Ketiganya adalah perubahan konstitusi, pembubaran dwifungsi ABRI, dan pemberantasan KKN. Sayang, ketiganya tidak berjalan selaras dan seimbang. “Pancasila tak lebih sebuah slogan. Negara ini belum mementingkan kepentingan bangsa di atas segalanya,” tukas penerima Presidential Award for Recruitment JCI dari Amerika Serikat ini.
Dalam subjudul bukunya, Soetanto tak segan menyebut dirinya sebagai seorang pembangkang demokrasi. Sebab, bagi pengagum Presiden AS, Abraham Lincoln ini, segala yang berkaitan dengan sebuah pembangkangan adalah hal yang biasa dan harus terjadi. “Jika tidak, maka yang akan terjadi hanya kemunafikan,” tegas Bung Tanto. (dya)

Amandemen Langgar Prinsip Demokrasi

Surabaya Pagi, 14 Maret 2008


Amandemen Langgar Prinsip Demokrasi





PERUBAHAN UUD 1945 oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) mulai dari perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua pada tahun 2000, perubahan ketiga pada tahun 2001, dan perubahan keempat pada tahun 2002 lalu, tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
“Perubahan yang dilakukan MPR selama ini, tidak memenuhi nilai-nilai yang harus terkandung di dalam sebuah konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum yang jujur dan adil; pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan persamaan setiap orang di depan hukum,” tandas DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH., dalam peluncuran buku terbarunya yang berjudul “Meredesain Konstitusi (Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi)”, di kampus Fakultas Hukum Unttag kemarin.
Prosedur dan proses perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR selama ini, bernuansa partisan dan penuh dengan campur tangan kepentingan partai-partai politik. Bukan untuk kepentingan rakyat. Jika kepentingan partai yang didahulukan, maka dipastikan setiap proses pembicaraan pembahasan perubahan UUD 1945 selama ini, berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing.
“Para anggota Majelis yang terhormat, melupakan kepentingan rakyat. Bahkan, tak jarang timbul konflik dalam perubahan tersebut. Sehingga dalam melakukan perubahan UUD, mereka mengabaikan unsur-unsur demokrasi, yaitu partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; dan pencapaian kata mufakat. Proses perubahan yang ada cenderung selalu diputus melalui voting,” terang Ketua Umum Yayasan Kebudayaan Indonesia ini.
Soetanto Soepiadhy mengatakan, agar perubahan UUD 1945 sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi, harus dilakukan melalui pembaruan naskah secara komprehensif (renewal), yaitu dengan menerapkan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, yang menjelaskan, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. (sal)

Meredesain Konstitusi : Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi

MEREDESAIN KONSTITUSI
Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi
Dr. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.
Burung Merak Press, Jakarta
Februari 2008 (Demokrasi)
xxxii + 320 halaman



COVER buku


Pokok-pokok Pikiran
DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.

MEREDESAIN KONSTITUSI
PEMBANGKANGAN SEORANG ANAK BANGSA UNTUK DEMOKRASI

  1. Reformasi yang berlangsung selama ini belum menjangkau persoalan bangsa yang paling hakiki, yaitu semangat dan sikap menuju kemandirian sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat.
  2. Tiga unsur penting tuntutan reformasi, yakni: 1) Perubahan Konstitusi; 2) Pembubaran Dwi Fungsi ABRI; dan 3) Pemberantasan KKN.
  3. Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002) terhadap UUD 1945 ditinjau dari segi prosedur dan proses maupun materi muatan atau substansi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  4. Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan prosedur dan proses perubahan konstitusi, yakni partisipasi rakyat; dari, oleh, dan untuk rakyat; kebijakan hukum; mufakat; pemungutan suara (voting) menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi prosedur dan proses tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  5. Unsur-unsur demokrasi yang berkaitan dengan materi mmuatan atau substansi konstitusi, yakni jaminan hak asasi manusia; pemilihan umum (pemilu); pemerintah yang bertanggung jawab; kebebasan berserikat; kebebasan menyatakan pendapat; peradilan yang bebas dan tidak memihak; persamaan setiap orang di depan hukum menunjukkan, bahwa perubahan UUD 1945 ditinjau dari unsur-unsur demokrasi terhadap segi materi muatan atau substansi tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  6. Pertanyaan yang muncul kemudian, sistem perubahan UUD 1945 yang dianut: Amandment atau Renewal?
  7. Dengan sistem Amandment (amandemen: perubahan parsial), dalam hal ini telah dilaksanakan pada Perubahan Pertama sampai dengan Keempat, tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
  8. Buku ini merupakan perubahan konstitusi dengan sistem Renewal (perubahan menyeluruh/komprehensif). Tanpa disadari pula, buku ini sebagai jawaban terhadap janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah/DPD pada 23 Agustus 2007, dan rapat konsultasi dengan pimpinan DPD di Istana Nagara pada 25 Januari 2008) untuk membentuk Komisi Konstitusi (komisi nasional) yang bertugas menyempurnakan sistem ketatanegaraan dengan mengacu pada perubahan konstitusi secara Renewal.
  9. Dengan sistem Renewal perlu dibentuk Komisi Konstitusi (lihat halaman 236). Untuk melakukan perubahan UUD 1945 merupakan suatu yang bersifat spesifik. Dalam membuatnya haruslah ditangani oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk itu. Dilakukan seleksi yang ketat oleh MPR secara terbuka, transparan, dan diketahui oleh publik. Sebenarnya, perubahan UUD 1945 tidak ditangani oleh MPR. Mengapa? Seperti diketahui keterlibatan unsur partisan menjadikan setiap proses pembicaraan berubah fungsi menjadi wahana mendesakkan kepentingan masing-masing. Mereka lupa memikirkan kepentingan rakyat, dan tak jarang pula menimbulkan berbagai konflik. Sesuai dengan adagium, bahwa filosofi konstitusi: “membatasi kekuasaan”, sebaliknya filosofi partai politik: “menguasai kekuasaan”.
  10. Sebagai solusi terhadap perubahan konstitusi haruslah diserahkan kepada Komisi Konstitusi yang independen. Komisi Konstitusi tersebut, terdiri atas para pakar berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi perwakilan daerah, diberi kewenangan khusus oleh MPR, bertugas melakukan penyusunan naskah rancangan Konstitusi Baru, menggantikan Konstitusi (UUD). Perubahan konstitusi dan proses demokrasinya dengan melibatkan partisipasi masyarakat/publik (perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, civil society, organisasi profesi) yang akan merancang constitution draft atau academic draft Konstitusi Baru. Dengan demikian, para elite MPR tidak melakukan monopoli hak kewenangan konstituante formalnya di atas segalanya.

    Surabaya, Maret 2008
    DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.

18 Juni 2009

Liberty, 20 Mei 1987






Sehari Bersama
SOETANTO SOEPIADHY


Paling kagum pada vitalitas almarhum Chairil Anwar, meskipun tidak berkeinginan untuk mati macam penyair itu. Targetnya kualitas, bukan kuantitas.

SOSOK Soetanto Soepiadhy seringkali muncul di layar televisi Stasiun Surabaya. Dalam acara Tebak Ria, yang melibatkan mahasiswa-mahasiswi perguruan tinggi di Jawa Timur. Soetanto Soepiadhy yang selalu dipanggil dengan Daddy saja, bertindak selaku pembawa acara. Dengan pakaian formal, ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan pada mahasiswa-mahasiswi yang hadir sebagai peserta.




SOETANTO Soepiadhy, sebagai pembawa acara Kuis Tebak Ria di TVRI

Saat Liberty bertemu dengannya, di kediaman kawasan Semolowaru Elok, Daddy yang sehari-hari dikenal sebagai seorang dosen dan penyair tertawa sumringah. Daddy yang ditemui Liberty, masih tetap Soetanto Soepiadhy yang dulu. Daddy yang tegar dengan idealisme. Daddy yang kaya dengan daya imajinasi. Kalau pun karya-karyanya sudah jarang kita dengar lagi, itu bukan berarti, bahwa Daddy telah tiada.
Lelaki kurus tinggi ini lahir di kota “pudak” Gresik, pada kisaran rasi Taurus. Ia lahir sebagai anak sulung dari enam orang bersaudara. Pepatah Jawa mengatakan, kacang ora ninggal lanjarane. Demikian pulalah kira-kira proses Daddy hingga sekarang menjadi penyair. Tidak dapat dipungkiri, memang darah seni yang ada di dirinya, dialirkan dari ayahnya sendiri, almarhum R.K.Ng. Soepiadhy Sosrosoetardo. Almarhum dikenal sebagai penggemar kesenian tradisional, macam wayang kulit dan karawitan.
Tidak heran memang, kalau putra-putranya banyak yang terttarik pada dunia yang digeluti almarhum ayahnya. Sayangnya, kegembiraan yang direngkuh bersama menjadi sirna, saat ayah tercinta dipanggil keharibaanNya. Saat itu, usia Daddy baru 16 tahun. “Ayah tidak banyak meninggalkan harta untuk kami semua. Beliau hanya meninggalkan kecintaannya yang besar pada dunia seni dalam diri putra-putranya,” katanya sambil pandangannya menerawang jauh ke langit-langit rumah.
Kendati sekilas raut wajahnya nampak baby face, tapi temperamen kepemimpinannya yang menonjol. Hal ini memang tak dapat dipungkiri adanya, karena langkah keyakinannya sebagai organisator telah mencapai titik keberhasilan. Satu laporan dari mahasiswanya yang tak mau disebut namanya, memang merupakan bukti, bahwa dosen termuda ini paling enggan dipanggil dengan sebutan Pak. Tetapi semua mahasiwa memanggilnya Daddy. “Supaya hubungan dapat terjalin lebih komunikatif,” kata Soetanto.
Barangkali kalau kebetulan Soetanto Soepiadhy berada di rumah, itulah waktu senggangnya. Karena memang untuk mencarinya susahnya setengah mati. Sebagai dosen, ia mengajar pada beberapa universitas, di antaranya Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Universitas Dr. Soetomo, Universitas Putra Bangsa, Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, dan Akademi Sekretari dan Manajemen Indonesia.




Dari kiri ke kanan: Soetanto Soepiadhy; Deddy Mizwar; pemeran
Ari Hanggara; Sutradara Franky Rorimpandey; dan kedua orang tuanya


Motivasi yang mendorong lahirnya ide untuk menulis puisi, merupakan keharusan baginya. Menanggapi karya penulis puisi yang sudah tua dibandingkan dengan penulis puisi yang ada sekarang, menurut Soetanto pada prinsipnya tidak ada batasan antara yang tua dan yang muda. “Saya hanya memakai batasan dekade, atau sampai seberapa jauh kekuatan penyair dalam satu dekade,” tutur Daddy, yang meski sudah lama menggeluti bidang puisi, tapi masih mengelak kalau disebut sebagai penyair. “Saya cuma seorang dosen saja,” katanya lagi. “Apa yang nampak saat membuat puisi?” “Saya biasa mengambil obyek, kemudian saya rekan dan renungkan. Sepertinya wanita hamil. Hal itu sama dengan proses pembuatan sebuah puisi. Kalau sudah oek (bayi lahir), ya itulah hasilnya,” tambah Daddy dalam menceritakan prosesnyya membuat puisi.
Adalah kenyataan, jika akhirnya kawan seprofesinya angkat topi untk Soetanto, sebab rasanya sudah bukan rahasia lagi apabila kita melihat kumpulan sajak-sajaknya yang berjudul “Bayang-bayang”. Bahkan lebih dari itu, D. Zawawi Imron teman seprofesinya dalam persajakan, mengungkapkan bait yang ada dalam sajaknya, yakni: “Bayang-bayang ada karena ada cahaya, dan bayang-bayang kehidupan selalu muncul di depan kita sehari-hari; hidup adalah gerak. Kumpulan sajak Bayang-bayang itu tak lain adalah sebuah rekaman dari realita. Soetanto Soepiadhy telah memotret manusia termasuk dirinya sendiri dalam sajak-sajak naratif yang menyarankan manusia untuk selalu melihat ke dalam dirinya sendiri, ke dalam bayang-bayangnya sendiri.”


COVER buku “Bayang-bayang”: Soetanto Soepiadhy

Target Daddy pada hakekatnya memang ada. Akan tetapi bukan dalam artian, sehari ia harus menyelesaikan satu, dua, atau tiga puisi. “Saya lebih menitik beratkan pada kualitas daripada kuantitas,” ujar Soetantto Soepiadhy, yang kagum pada vitalitas penyair Chairil Anwar. Memang peranan rasio dalam membuat puisi itu lebih baik, dan itupun masih harus ditunjang dengan pengungkapan jiwa. Dan, kedua-duanya harus berimbang dan saling berkaitan. Selain itu untuk melihat puisi yang baik, juga harus berangkat dari satu intuisi yang baik pula. Selain kecermatan, kepandaian, juga harus dimiliki intelektualitas yang tinggi. “Karena di dalamnya dibutuhkan renungan, bukan melamun, tetapi berpikir secara kritis,” tambah Soetanto Soepiadhy. Di rumahnya, ia memiliki sketsa hitam putih, sebuah renungan yang sarat dengan benda-benda seni, karya seniman Jawa Timur.
Masih banyak sebetulnya kesibukan Soetanto Soepiadhy dalam melewatkan hari-harinya. Ia juga aktif dalam kegiatan pementasan drama, baik selaku sutradara maupun sebagai pemain. Memang layak dikagumi, saat ia berturut-turut keluar sebagai “pembaca favorit” dalam festival puisi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA), dari tahun 1980, 1981, dan 1982. Selain itu, ia pernah juga menjadi Project Officer Sanggar Sastra Surabaya.

FOTO atas: Henry Noorcahyo; Soetanto Soepiadhy;
Bambang Harryadjie BS; Moedjiono PS (alm); foto bawah:
adegan drama lawan catur

Nama Soetanto Soepiadhy semakin bertambah terkenal, saat kumpulan puisinya “dicabut” oleh rock band terkenal asal Surabaya, SAS Group untuk dijadikan lagu seperti dalam album Kasmaran, 1979; album Laila, 1979; album SAS, 1980; album Indonesia, 1980; album Sansekerta, 1981, album Ilusi, 1982; album Larantuka, 1983, dan album Rudal, 1984.




LIRIK lagu karya Soetanto SoepiadhyIndonesia dalam majalah Aktuil, Bandung

Sedangkan prestasi internasional yang pernah disandangnya adalah saat ia menjabat Vice President Indonesia untuk Junior Chamber International. Dan untuk kegiatan yang satu ini, Soetanto Soepiadhy pernah memperoleh Presidential Award for Recruitment dari Amerika. Selamat berkarya.

Hermanadi