Soetanto Soepiadhy,
Doktor Hukum Tata Negara Asli Gresik
Diundang Presiden untuk Menyampaikan Gagasan
Perubahan Konstitusi
Diundang Presiden untuk Menyampaikan Gagasan
Perubahan Konstitusi
ARIES WAHYUDIANTO, Gresik
DI era Presiden Soeharto, dia pernah ditawari menjadi dosen Kopertis dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS), namun ditolak. Kini, meski memiliki hubungan dengan Mendagri, lagi-lagi dia secara tegas menolak memanfaatkan untuk mencari keuntungan. Baginya, terlahir sebagai seorang dosen atau pengajar swasta adalah jalan hidupnya. Lalu siapakah Soetanto Soepiadhy ini?
SEDERHANA, tapi penampilannya selalu necis dan perlente serta gayanya yang blak-blakan, menjadi ciri khas, pria kelahiran kampung Gapuro Sukolilo, Kecamatan Gresik, 55 tahun silam ini. Selepas menamatkan sekolah di SMA 1 Gresik, Soetanto kemudian berkelana dan berguru.
Hingga akhirnya pada 2006 lalu, dia mendapat gelar doktor hukum tata negara dari kampus almamaternya, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Bahkan, sebutan profesor tinggal menunggu hitungan hari untuk melengkapi gelar penerima Presidential Award for Recruitment JCI, Amerika Serikat.
Dosen tetap Untag Surabaya ini, tidak hanya piawai dalam mengajar. Dalam urusan penulisan buku, Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib) ini, termasuk ilmuwan yang rajin menelurkan karya-karya ilmiahnya. Hingga akhir 2007 lalu, sudah 19 buku ilmiah maupun budaya yang dihasilkan dari pemikiran Direktur “Soetanto Soepiadhy Private Library”.
Yang mengesankan, karyanya berjudul Meredesain Konstitusi, Pembangkangan Seorang Anak Bangsa untuk Demokrasi, kini menjadi kajian anggota MPR di Jakarta. Beberapa kali, pria yang juga seorang budayawan ini diundang badan pekerja MPR dan DPD hingga presiden untuk menyampaikan gagasan terhadap perubahan konstitusi.
Dalam buku setebal 320 halaman ini membahas kajian perubahan konstitusi, UUD 1945, seperti yang diamanatkan dalam tuntutan reformasi. Ada satu poin mendasar dalam pemikiran Soetanto Soepiadhy terkait perubahan konstitusi, supremasi hukum negeri ini, yakni melakukan renewal atau perubahan secara komprehensif/menyeluruh. Dia menilai, konsep ini harus dijalankan, karena perubahan melalui amandemen yang dilakukan MPR, dianggap tidak sesuai dengan prospek perkembangan demokrasi.
Dalam gagasannya, Soetanto Soepiadhy menawarkan perubahan konsep konstitusi dengan sistem renewal. Konsep ini tidak serta merta muncul. Sebab, gagasan ini justru pernah mengemuka ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan jawaban dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Agustus 2007 lalu.
“Untuk melaksanakan sistem renewal perlu dibentuk Komisi Konstitusi, sebab perubahan UUD 1945 perlu orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kompetensi. Orang-orang ini bisa diambil dari pakar perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, dan civil society,” saran dia.
Dia membandingkan perubahan konstitusi yang sudah dilaksanakan oleh Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan. Perlu ada 30 hingga 100 orang pakar untuk membahas perubahan melalui Komisi Konstitusi.
Untuk membahasnya, hanya butuh waktu antara 3 bulan hingga 2 tahun. “Kalau kita bisa ambil tengah-tengahnya. Saya yakin, kalau perubahan konstitusi ditangani komisi khusus, maka output yang dihasilkan akan mewakili seluruh kepentingan masyarakat. Dan bukan MPR yang menghasilkan, karena MPR banyak dihuni oleh unsur partisan yang memiliki politik kepentingan,” kata Soetanto Soepiadhy. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar