13 Oktober 2009

MENOPANG REFORMASI TNI

Surya, 13 Oktober 2009 

MENOPANG REFORMASI TNI





Dr Soetanto Soepiadhy SH MH
Ketua Pusat Kajian Konstitusi Untag Surabaya

Bila masalah umum seperti korupsi, penegakan hukum, dan lain-lain sudah ditangani dengan serius; prajurit dipersenjatai dengan peralatan yang memadai dan terjamin kesejahteraannya, maka hanya masalah waktu sajalah reformasi TNI itu bisa dinilai berhasil dan menjadi TNI yang profesional.

INDONESIA saat ini adalah Indonesia di abad ke-21. Ujud ke depannya, adalah Indonesia yang modern dan demokratis, menjunjung tinggi supremasi hukum, menghormati HAM dan perbedaan pendapat. Kesadaran untuk bersama mendukung wujud Indonesia ke depan yang seperti itu telah mendorong TNI untuk segera keluar dari bayang-bayang masa lalunya yang menyulitkan, di samping memang sudah tidak aktual lagi.


Proses untuk bisa keluar itu, harus dipahami, tapi tidak mudah. Butuh waktu yang sangat panjang. Bahkan bisa jadi, sebuah proses yang tiada akhir. Kita melihat, perlahan-lahan TNI menunjukkan langkah mantapnya melakukan reformasi mewujudkan TNI yang profesional, efektif, efisien, dan modern. Di bawah naungan Departemen Pertahanan, TNI membaharui kinerjanya, baik menyangkut pemenuhan kesejahteraan prajurit maupun sistem alat pertahanan serta tetap berkomitmen menjaga netralitas dalam politik.

Bangsa ini harus mengakui, banyak yang berubah dalam diri TNI. Hal ini ditandai dengan pemisahan polisi dari ABRI, dihasilkannya ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Pengaturan Organisasi TNI dalam ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2004. Terutama, TNI telah dilepaskan dari kegiatan politik praktis dan ada upaya unuk menjadikan TNI lebih profesional, baik dari aspek doktrin, kultural dan postur.

Namun demikian, masih banyak saja kritik. Reformasi TNI dianggap belum banyak menyentuh akar persoalan. Padahal, harus diakui, bila dibandingkan dengan lembaga lain, TNI sudah cukup banyak memenuhi tuntutan reformasi. Misalnya, meninggalkan dwifungsi TNI, meninggalkan Fraksi TNI di kursi DPR, termasuk pemisahan TNI dengan Polri, netralitas TNI; dan menjauhi politik praktis.

Panglima TNI, Jenderal TNI Djoko Santoso pada ulang tahun TNI ke-63 pada 10 Oktober 2008 setahun lalu mengatakan, selama satu dasawarsa ini, reformasi internal TNI telah berlangsung dengan baik. Refomasi TNI telah berjalan dengan lancar dan berhasil walau masih perlu kajian dan evaluasi.

Tentunya, pernyataan itu untuk lebih menegaskan peran TNI sebagai instrumen pertahanan nasional dalam kapasitas tentara profesional sebagai bagian dari sistem politik demokratis. Saat ini, kita bisa melihat, profesionalisme TNI masih terus diupayakan. Salah satu jalan yang telah ditempuh, sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI adalah dengan mengeluarkan TNI dari berbagai aktivitas politik praktis serta aktivitas bisnis (niaga).

Tergantung Sipil
Berbagai kritikan yang dilontarkan itu, sekeras apapun, diharapkan bisa diterima sebagai dorongan energi positif bagi proses berlangsungnya reformasi TNI. Kritik itu harus diterima sebagai wujud kecintaan terhadap TNI. Karena mereka menginginkan TNI, yang juga miliknya, menjadi TNI yang profesional.

Dengan demikian, kalau ada penilaian reformasi TNI itu belum berhasil, tentu bukan salahnya TNI saja. Justru, yang paling bertanggungjawab dan perlu disalahkan adalah pemerintah dan kalangan elite politik. Mengapa demikian? Kenyataan, pemerintah sangat minim mengucurkan dana bagi upaya proses reformasi TNI yang di dalamnya berkewajiban memberikan pemenuhan kesejahteraan prajurit maupun sistim alat pertahanannya.

Sangat disayangkan. Padahal, dua masalah ini kita pandang sebagai masalah krusial dan sangat sensitif. Secara objektif, kita harus mengkhawatirkan akan terjadinya pembalikan dari cita-cita awal reformasi TNI itu sendiri. Hal itu bukan tidak mungkin. Akibat ketidakcepatan (ketegasan) pemerintah dalam pendanaan untuk peralatan utama sistem persenjataan yang sesuai kebutuhan, kemudian terjadinya kasus-kasus korupsi yang kebanyakan dilakukan para politisi sipil.

Di mata TNI, itu semua menunjukkan ketidakkompetenan kalangan sipil. Disadari, keberhasilan reformasi TNI tidak bisa dilepaskan dari kondisi yang terjadi di luar TNI. Dalam hal ini, perilaku pemerintah dan partai politiknya. Tergantung sipil. Tanpa berlebihan, kita bisa menduga, pastinya TNI tengah menunggu sipil benar-benar terbukti tidak kompeten. Apalagi belakangan, anggapan tidak kompeten itu semakin diperkuat dengan betambah maraknya kasus korupsi hampir di seluruh lembaga sipil yang ada.

Kelemahan kalangan sipil ini secara tidak langsung bisa memberi peluang militer untuk kembali masuk. Jangan dianggap tidak adanya mereka di legislatif atau keterlibatan aktif di dalam partai politik, lantas tidak lagi ada keinginan TNI kembali seperti di masa lalu. Biar bagaimanapun, TNI bukan mustahil masih menunggu kesempatan untuk masuk lagi di kekuasaan seperti dulu.

Belakangan terbukti masih adanya kesan keinginan TNI untuk tetap terlibat aktif dalam menangani masalah-masalah keamanan, seperti pemberantasan terorisme atau terkait keamanan dalam negeri lainnya.

Konsisten
Secara akal sehat, kalau TNI tidak lagi boleh berbisnis, padahal itu yang bisa memberikan kesejahteraan kepada prajuritnya selama ini, lalu kenyataan pula anggaran untuk sistem alat pertahanannya juga terus dikurangi, apakah ini tidak membuat TNI bisa berpikiran lain? Bukan bermaksud menuduh dan mencurigai, tetapi ini perlu disampaikan agar semua pihak bisa berpikir jernih dan berjalan pada jalur yang benar.

Bila masalah umum seperti korupsi, penegakan hukum, dan lain-lain sudah ditangani dengan serius; prajurit dipersenjatai dengan peralatan yang memadai dan terjamin kesejahteraannya, maka hanya masalah waktu sajalah reformasi TNI itu bisa dinilai berhasil dan menjadi TNI yang profesional.

Keprofesionalan TNI adalah mutlak dan menjadi kepentingan kita sebagai bangsa dalam bidang pertahanan-keamanan menghadapi dunia luar. Untuk itulah, sebagai warga bangsa, kita harus terus konsisten menopang proses reformasi TNI itu dalam bingkai NKRI.

Tidak ada komentar: