14 September 2009

Yoga Bahasa Jadi Ruang Ibadah

Jawa Pos, 14 September 2009

Memperingati 40 Hari W.S. Rendra Berpulang
Yoga Bahasa Jadi Ruang Ibadah

Oleh : Soetanto Soepiadhy
MEMPERINGATI 40 hari W.S. Rendra berpulang, akan diadakan doa bersama di Kampus Bengkel Teater Rendra sore nanti, tepatnya menjelang magrib hingga tengah malam. Tuhan, Aku Cinta Padamu adalah tema yang disuguhkan dalam acara tersebut. Tema itu menjadi satu-satunya puisi yang ditulis Rendra saat berbaring di rumah sakit sebelum meninggalkan dunia ini. Itulah puisi terakhirnya.

Betapa terharu hati ini, kepada penulis -sebagai salah seorang sahabat- pada suatu malam berdua di rumahnya, secara jujur Rendra mengakui menjadi seniman dan memilih kesenimanan sebagai jalur hidup karena pertemuan dengan seorang penjual arang di sebuah pedesaan di daerah Jogjakarta. Penjual arang itulah yang memberikan kekuatan dan daya hidup kepada dia untuk menjadi seniman. Bisa dipastikan, itulah "guru besar" Rendra, orang tua penjual arang. Meski, pilihan sebagai seniman tersebut sangat ditentang keras oleh bapak dan ibunya yang ingin Rendra menjadi "orang".



Gulma

Setelah Rendra membacakan pidato penerimaan penganugerahan gelar doktor honoris causa dalam bidang kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, 4 Maret 2008, diadakan dialog budaya Sumbangan Pemikiran W.S. Rendra bagi Kemanusiaan dan Kebudayaan Kontemporer.

Dalam dialog tersebut, terlontar Rendra tidak saja menyandang gelar itu dalam bidang kebudayaan, tetapi lebih spesifik sebagai doktor pertanian. Mengapa? Sebab, Rendra dalam pidato tersebut menjelaskan pentingnya gulma. Rusaknya gulma berakibat rusaknya ekosistem.

Dalam orasi, Rendra menegaskan, dengan kedok revolusi hijau, kekuatan asing bisa meyakinkan bahwa kita harus meningkatkan swadaya pangan. Lalu, tanpa ujung pangkal akal sehat, pemerintah Orde Baru menetapkan bahwa swadaya pangan pada intinya adalah swadaya beras. Seakan-akan, mulai Sabang sampai Merauke, beras menjadi makanan utama dan tanah mulai Sabang sampai Merauke bisa ditanami beras. Solusi yang diambil untuk mengatasinya, para pakar asing menasihati agar ada intensifikasi pertanian padi. Artinya, imporlah bibit padi hibrida!

Bibit hibrida memerlukan pupuk. Lalu, didirikanlah pabrik pupuk dengan pinjaman asing. Pupuk tersebut mengandung beurat yang lama-kelamaan tanah menjadi bantat.

Termasuk dalam program intensifikasi pangan, dipakailah berbagai racun, misalnya pestisida untuk membunuh hama tanaman. Fumisida digunakan untuk membunuh cendawan-cendawan, terutama cendawan di kebun buah-buahan. Herbisida dipakai untuk membasmi gulma. Maka, gulma jenis rumput di sela tanaman dianggap mengganggu.

Padahal, sebenarnya gulma adalah bagian dari ekosistem tanah. Bisa disingkirkan secara sementara dengan disiangi. Kalau ditumpas dengan herbisida, akan lenyaplah gulma selama-lamanya dan rusaklah ekosistem. Pada hakikatnya, herbisida berbahaya untuk semua organisme dan makhluk.

Tak heran, Kampus Bengkel Teater Rendra di Cipayung Jaya, sebuah lahan luas yang penuh dengan tumbuhan, "mengharamkan" membasmi gulma.

Manjing ing Kahanan

"Saya lahir dari keluarga Jawa. Maka, ajaran-ajaran Mas Janadi juga mengangkat tradisi Jawa, khususnya tradisi suluk Demak, bukan tradisi Jawa Mataram Islam," tutur Rendra dalam suatu kesempatan.

Memang, disiplin dan caranya dalam berkarya juga merupakan disiplin dan caranya dalam menjalani hidup. Disiplin dan cara yang dimaksud Rendra itu diperoleh berkat ajaran Mas Janadi. Janadi adalah pembantu kiriman kakeknya, yang sekaligus menjadi guru pribadi sejak Rendra berumur 4,5 tahun. Ketika Rendra berada di kelas 5 sekolah dasar, Mas Janadi wafat.

Secara ringkas, disiplin dan cara olah kreatif Rendra dirumuskan dalam kalimat: Manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi. Artinya, masuk ke dalam kontekstualitas, meraih kehendak Allah. Lebih lanjut, Rendra menjelaskan, bekal masuk ke dalam kontekstualitas itu adalah rewes (kepedulian) dan sih katresnan (cinta kasih).

Dalam kesempatan yang sama, Rendra juga bertutur bahwa disiplin manjing ing kahanan, nggayuh karsaning Hyang Widhi menjadi disiplin hidupnya, berkarya dalam menulis puisi. Sehingga, pada hakikatnya, puisi-puisinya adalah yoga bahasa atau dalam bahasa Rendra: Menciptakan ruang ibadah bagi dirinya.

Pahlawan Nasional

Sepanjang hidup, Rendra tidak pernah bergeser dari jalur yang ditapaki, setia berdiri pada posisinya sebagai budayawan penjaga nilai-nilai perjuangan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.

Karena itu, sebagai salah seorang sahabat dekatnya, berharap sudah selayaknya pemerintah Indonesia memberikan gelar pahlawan nasional untuk Rendra. Sebab, dia merupakan tokoh yang berani berkata tidak saat orang lain berkata ya. Rendra berani melawan penguasa saat orang lain berusaha mendekat kepada penguasa.

Melalui karya-karya sastra yang mendunia, Rendra rela dipenjara demi sebuah cita-cita Indonesia yang disegani bangsa-bangsa di dunia sebagai seniman besar. Bagi dia, nilai hidup sebagai pesakitan lebih tinggi daripada hidup dalam kemewahan tetapi melukai hati rakyat.

Rendra adalah penjaga setia garis depan perjuangan yang menentang ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat berjasa bagi bangsa dan negaranya.

Ada sebuah puisi Rendra yang sangat menggugah dan menyiratkan bahwa dirinya seorang pejuang yang berjiwa sangat independen.

Kesadaran adalah matahari

Kesabaran adalah bumi

Keberanian menjadi cakrawala

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.


*) Dr Soetanto Soepiadhy SH MH, sahabat almarhum W.S. Rendra

Tidak ada komentar: